Baru-baru ini heboh kasus dokter gadungan atau 'dokteroid' yang mengelabui sejumlah tim sepakbola di Tanah Air. Bahkan, dokter gadungan itu juga sempat menangani Tim Nasional (Timnas) U-16 dan U-19.
Elwizan Aminudin alias Amin diamankan oleh Polresta Sleman pada 24 Januari 2024 di Cibodas, Jawa Barat. Sebelumnya, Elwizan dilaporkan manajemen klub sepakbola PSS Sleman pasa 2021 setelah terungkap sebagai dokter gadungan dan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) selama beberapa tahun.
Anggota Biro Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota (BHP2A) Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Dr dr Gregorius Yoga Panji Asmara menyebut sebetulnya ada sejumlah cara untuk memastikan seseorang benar-benar dokter. Pertama, memastikan yang bersangkutan mengantongi ijazah pendidikan kedokteran, bisa diikuti dengan berkas gelar dokter program lanjutan atau spesialistiknya, misalnya orthopedi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kemudian ijazah pun tidak cukup karena dia hanya menunjukkan sudah menyelesaikan studi, tapi apakah dia juga teregister sebagai dokter? Ada surat tanda registrasi sebagai bukti tertulis yang diberikan terhadap dokter atau tenaga kesehatan yang telah diverifikasi," tuturnya dalam webinar daring, Selasa (6/2/2024).
Tidak cukup hanya STR, dr Gregorius mengingatkan verifikasi selanjutnya memastikan orang tersebut juga mengantongi surat izin praktik (SIP). SIP menjadi tanda para dokter dan nakes memiliki kompetensi untuk berpraktik dan melayani masyarakat di fasilitas kesehatan seperti di RS, maupun di luar RS.
"Ketika seorang dokter memberikan pelayanan mengaku dirinya sebagia dokter, tentu tidak serta merta ujug-ujug memberikan pelayanan," katanya.
"Dalam konteks ini kita melihat ada beberapa tahapan yang bisa kita sisir, supaya masyarakat bisa mendapatkan dokter yang sungguh-sungguh dokter, non dokteroid," sorot dia.
NEXT: Kesehatan atlet tidak boleh asal-asalan
Eksistensi sejumlah organisasi profesi juga disebutnya bisa ikut diperbantukan untuk melakukan verifikasi demikian demi mencegah kasus yang tidak diinginkan. Mengingat, dalam pertandingan olahraga dibutuhkan spesialisasi khusus untuk mengatasi sejumlah kasus seperti misalnya cedera dan trauma.
Bahkan dari sisi nutrisi yang diperlukan seorang atlet, juga ikut dipertimbangkan untuk kelancaran pertandingan.
"Ini berkaitan juga dalam aspek bagaimana mereka berolaharga, mereka butuh tatalaksana yang terbaik, tidak sekadar dokter dibutuhkan saat atlet sakit, tapi secara luas dan komprehensif, contoh kebutuhan nutrisi seorang atlet pasti berbeda dengan kebutuhan saya misalnya sebagai dokter, atau dosen," pesan dia.
"Dari sisi ini, kita bisa melihat penatalaksanaan terkait kesehatan mereka tidak hanya di pertandingan, tetapi juga di luar pertandingan, kemudian dalam konteks berlatih, dapat mencegah dampak buruk dari kemungkinan cedera," pungkasnya.
Dengan kata lain, penanganan kesehatan atlet tidak bisa dilakukan secara asal-asalan, apalagi oleh seorang dokteroid karena mencakup segala aspek.











































