Ketar-ketir RS di Korsel Dokter Mogok Kerja, Pasien Kanker Terlantar

Ketar-ketir RS di Korsel Dokter Mogok Kerja, Pasien Kanker Terlantar

Nafilah Sri Sagita K - detikHealth
Jumat, 23 Feb 2024 08:31 WIB
Ketar-ketir RS di Korsel Dokter Mogok Kerja, Pasien Kanker Terlantar
Ribuan dokter di Korea Selatan mogok kerja. (Foto: REUTERS/SOO-HYEON KIM)
Jakarta -

Ruangan kosong hanya dipenuhi peralatan medis, demikian potret yang terjadi di banyak unit gawat darurat Korea Selatan. Ribuan dokter mogok kerja, bahkan pemerintah Negeri Ginseng tersebut mencatat ada lebih dari 8.000 dokter yang berhenti berpraktik.

Nasib pasien jelas terdampak. Salah satu pasien kanker bahkan sudah lebih dari 10 jam menetap di RS tanpa kejelasan kapan akan mendapatkan penanganan.

"Sangat membuat frustasi melihat aksi mogok dokter yang terjadi saat ini," kata pasien laki-laki yang tidak diketahui namanya, bercerita kepada surat kabar JoongAng Ilbo.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Rumah sakit terbesar di Korea Selatan membatalkan prosedur dan menolak pasien yang mencari perawatan darurat pada hari Rabu setelah ribuan dokter peserta pelatihan mengundurkan diri sebagai protes terhadap rencana pemerintah untuk meningkatkan penerimaan sekolah kedokteran.

Salah satu rumah sakit, Asan Medical Center di Seoul, memasang tanda yang menyatakan unit gawat daruratnya hanya menangani kasus serangan jantung. Unit gawat darurat di empat rumah sakit lainnya juga berada dalam status "siaga merah', menurut buletin pemerintah, yang berarti mereka tidak punya tempat untuk menangani pasien lantaran nihil dokter bertugas.

ADVERTISEMENT

Cekcok dokter Korsel dengan pemerintah setempat bermula dari rencana negaranya akan memperbanyak kuota fakultas kedokteran demi mencetak jumlah dokter lebih tinggi. Korsel khawatir tertinggal jauh dari negara lain karena rasio dokter di antara negara maju lain, jauh tertinggal.

Sementara para dokter khawatir, hal ini akan berdampak pada kualitas pelayanan, juga kesejahteraan dokter lain yang dinilai bisa berpengaruh pada pengurangan upah atau gaji.

Para dokter mengkritik pemerintah karena disebut tidak menyentuh permasalahan nyata yang mengganggu profesi medis. Peningkatan sekolah kedokteran disebut berkisar di 65 persen, demi mengatasi aging population di Korea Selatan.

Meskipun niatnya mungkin tampak mulia pada pandangan pertama, para ahli berpendapat bahwa solusi tingkat permukaan ini gagal mengatasi masalah yang lebih dalam dan sistemik. Kekhawatiran mereka antara lain adalah tidak adanya insentif keuangan yang memadai dan ancaman tuntutan hukum di bidang medis.

Dampak langsung dari pemogokan para dokter sudah terlihat jelas, dengan pemotongan operasi hingga 50 persen dan operasional rumah sakit terganggu secara signifikan. Hal ini memberikan gambaran suram mengenai dampak pemogokan terhadap akses pasien terhadap perawatan penting.

Pemerintah Korea Selatan berada dalam situasi yang sulit, terjebak dalam pertikaian antara kebutuhan kesehatan masyarakat dan tuntutan komunitas medis. Dalam upaya meredam kerusuhan, pihak berwenang memperingatkan para dokter yang melakukan aksi mogok tersebut akan mengambil tindakan hukum, termasuk hukuman penjara dan denda, jika mereka tidak dapat kembali bekerja.

Namun pendekatan garis keras ini tampaknya tidak banyak membantu dalam menjembatani kesenjangan tersebut, dokter-dokter yang masih dalam masa pelatihan terus melakukan aksi mogok kerja meskipun mereka menentang ancaman pemerintah. Situasi ini semakin diperumit dengan dukungan masyarakat terhadap rencana pemerintah, yang menempatkan para dokter mogok tersebut dalam posisi berbahaya ketika mereka menghadapi tantangan opini publik dan tekanan pemerintah.




(naf/naf)

Berita Terkait