Dokter Erickson, Pencipta Musik untuk Jiwa Terusik

Sosok

Dokter Erickson, Pencipta Musik untuk Jiwa Terusik

Siti S. Shopiah - detikHealth
Senin, 26 Feb 2024 07:21 WIB
Jakarta -


Sore hari itu, setelah memeriksa pasien terakhirnya, Erickson melewati koridor Rumah Sakit MH. Thamrin Cileungsi. Terhitung tiga tahun sudah ia menjalani profesi sebagai seorang dokter spesialis kejiwaan. Ialah Erickson Arthur Siahaan, dokter lulusan Universitas Indonesia yang juga merangkap sebagai influencer kesehatan mental di media sosial.

Ketertarikan Erickson pada kesehatan mental sudah bermula sejak usia belia. Sejak duduk di bangku SMP, Erickson remaja sudah gemar mengamati isu ini di lingkungan sekitarnya. Mulai saat itu, Erickson pun bertekad ingin menjadi praktisi kesehatan mental. Hingga akhirnya, ia pun menempuh pendidikan sebagai dokter dan melanjutkan studi spesialis kejiwaan, mengantarkan Erickson pada profesinya saat ini.

Namun, Erickson bukan dokter spesialis kejiwaan biasa. Kepeduliannya terhadap isu kesehatan mental dan kegemarannya pada musik, menginspirasi Erickson untuk membuat terobosan di dunia kesehatan. Ia membuat modul terapi musik bagi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Indonesia. Ini adalah inovasi pertama yang menggabungkan seni musik dengan ilmu kejiwaan. Hal ini bermula pada 2020, saat Erickson sedang menyelesaikan studi spesialis, ia membuat modul terapi musik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya diajarkan untuk bisa bermain piano, gitar, meskipun ya standar-standar aja skill-nya tidak terlalu istimewa. Saya merasakan ketika saya mendengarkan musik, ketika saya bermain musik, ada ketenangan di sana. Nah atas dasar itu, saya mencoba menggabungkan gitu ya, minat saya di dalam musik dengan ilmu saya di bidang jiwa," ungkap Erickson di program Sosok detikcom.

Menurut Erickson, modul terapi musik bukan hanya aktivitas mendengarkan musik saja. Lebih dari itu, modul ini merupakan sebuah pelatihan sistematis untuk memperkenalkan kembali emosi dasar manusia. Khususnya untuk pasien skizofrenia yang mengalami penurunan kemampuan dalam mengenali emosi.

ADVERTISEMENT

Erickson menuturkan, terapi musik sendiri merupakan terapi komplementer atau pelengkap. Pasien mesti tetap menjalani terapi utama, seperti obat-obatan dan psikoterapi. sedangkan terapi musik bisa dijadikan sebagai salah satu opsi penunjang menuju pemulihan pasien.

Lebih lanjut, Erickson menjelaskan, terdapat sepuluh sesi dalam pelatihan modul ini, yang mana setiap sesinya mempelajari satu emosi. Saat pasien tidak mampu mengenali emosi yang terkandung pada musik yang didengarkan, di situlah Erickson berperan untuk memperkenalkan kembali emosi-emosi dasar.

Adapun musik yang diperdengarkan pada pasien adalah musik buatan Erickson. Berbekal piano, ia merekam lagu-lagu yang mewakili lima emosi dasar manusia, seperti senang, sedih, marah, takut, dan tenang.

Erickson mengaku, pembuatan instrumen musik untuk modul terapi ini harus melalui berbagai tahapan. Mulai dari riset mengenai skala dan akor musik, lalu menyusun lagu-lagu sesuai dengan emosi yang dimaksud, merekamnya, hingga akhirnya mendapat validasi oleh ahli musik profesional.

"Ketika saya mau membuat musik itu, saya mencoba larut dulu gitu dalam emosi. Baru saya bisa menuangkan itu di dalam musik, gitu. Musik-musik itu divalidasi dulu tuh oleh ahli musik, ini bener nggak sih musiknya mewakili emosi senang? Nah makanya perlu divalidasi dulu," terang Erickson.

Dokter yang juga mengabdi di RSUD Cileungsi ini menuturkan, untuk melihat sejauh mana pengaruh dari modul terapi ini, perlu dilakukan pre-test dan post-test pada pasien terapi. Hasil post-test yang menunjukkan perubahan positif menjadi bukti bahwa modul terapi ini bekerja dan berpengaruh pada pasien.

"Jadi, hal yang saya lihat di sini, bagaimana pelan-pelan mereka itu pada saat saya amati ya, mulai timbul kembali skill-nya dalam bersosial, gitu. Yang tadinya mungkin nih pada saat awal, mereka kayak, malu-malu, karena tidak saling kenal satu sama lain ya. Mereka tidak terlalu terbuka. Tapi ketika mereka menjalankan modul terapi musik, pelan-pelan tuh mereka mau berbaur gitu ya," jelas Erickson.

Jerih payah Erickson menciptakan modul terapi musik terbayar manis. Ciptaannya ini telah mendapat berbagai penghargaan, di antaranya juara di Research Award Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PIT PDSKJI) Tahun 2021. Tak hanya itu, pada 2022, modul ciptaan Erickson juga mendapat rekor dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) dengan tajuk, 'Modul Terapi Musik Pertama untuk Orang dengan Gangguan Jiwa di Indonesia'.

Meski demikian, Erickson mengaku, modul terapi musik buatannya masih jauh dari kesempurnaan. Ia berharap dapat berkolaborasi dengan pihak-pihak yang bisa mengembangkan modul ciptaannya.

"Ini kan yang pertama kali dilakukan, pastinya untuk ke depannya ada hal-hal yang bisa disempurnakan. Contohnya, supaya pelaksanaan itu bisa lebih, rundown-nya lebih sistematis, bisa juga modul terapi musik ini dikembangkan lagi untuk gangguan-gangguan yang lain. Tidak hanya skizofrenia saja, tapi bisa gangguan depresi, gangguan cemas, dan lain-lainnya," pungkas Erickson.

(sss/nel)

Berita Terkait