Hong Kong belum lama ini bikin heboh setelah adanya penemuan kasus infeksi virus B atau virus herpes simiae pertama pada manusia. Virus mematikan ini menginfeksi pasien pria berusia 37 tahun setelah mengalami luka setelah kontak dengan kera liar saat berkunjung ke Kam Shan Country Park pada akhir Februari.
Sebenarnya apa itu virus B dan bagaimana kejadian ini bisa terjadi di Hong Kong? Berikut ini adalah fakta-fakta yang ditemukan:
1. Pasien dalam Kondisi Kritis
Awalnya pasien mengalami gejala demam tinggi dan penurunan kesadaran. Ia akhirnya dilarikan ke Rumah Sakit Yan Chai pada akhir Maret dan pada saat ini ada di dalam kondisi kritis di ruang ICU.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemeriksaan spesimen cairan serebrospinal dilakukan untuk melakukan diagnosis pada pasien. Layanan Laboratorium Kesehatan Masyarakat Cabang Pusat Perlindungan Kesehatan (CHP) menemukan bahwa pasien dinyatakan positif virus B.
Kondisi ini membuat pusat mendesak masyarakat untuk tidak menyentuh atau memberi makan monyet liar. Hal ini guna untuk mencegah tertular virus B dari monyet yang ada di tempat tersebut.
2. Penularan Melalui Air Liur
Pakar epidemiologi Universitas Griffith Australia Dicky Budiman menjelaskan virus B sebenarnya sudah ditemukan pertama kali pada tahun 1932. Ia menuturkan bahwa penularan dari hewan ke manusia umumnya terjadi melalui cairan saliva atau air liur.
"Kemudian kalau bicara cara penularannya itu dari cairan yang ada dari saliva dia atau air liur. Kemudian juga bisa karena menyentuh mata, hidung, dicakar bisa juga seperti itu. Jadi ini bukan seperti dari droplet gitu ya seperti COVID itu nggak," ucap Dicky ketika dihubungi detikcom, Sabtu (6/4/2024).
Infeksi virus B pada manusia memiliki gejala yang mirip dengan flu. Gejalanya meliputi demam tinggi, nyeri badan, hingga menggigil.
3. Tingkat Kematian Tinggi
Dicky menjelaskan bahwa infeksi dari virus B pada manusia sebenarnya cukup jarang terjadi. Namun, ia menuturkan infeksi dari virus tersebut bisa sangat membahayakan nyawa.
Ia berkata data dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) atau Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa case fatality rate dari infeksi virus ini mencapai kurang lebih 80 persen. Artinya delapan dari 10 orang yang terinfeksi virus B meninggal dunia.
"Artinya ini kasus-kasus yang banyak terjadi karena tidak terdeteksi. Kemampuan deteksi mengenali penyebab yang terlambat, padahal dalam kasus seperti ini tindakan penanganan sangat perlu cepat," jelas Dicky.
"Umumnya karena keterlambatan sehingga si virus menyerang otak dan berakibat fatal," tambahnya.
NEXT: Kemungkinan Masuk RI Kecil
Simak Video 'Mitos atau Fakta: Kebanyakan Duduk Saat Mudik Bisa Bikin Ambeien':
4. Penularan Antar Manusia Langka
Dicky menjelaskan potensi kemunculan pandemi akibat virus B masih sangat kecil. Salah satu hal yang mempengaruhinya adalah sangat langkanya kasus penularan antar manusia yang menjadi salah satu 'syarat' pandemi.
"Penularan antar manusia ini (virus B) masih sangat jarang. Bahkan sejauh ini dunia hanya menemukan satu kasus antar manusia," ujarnya.
Walaupun begitu, pemantauan dan penjagaan yang baik oleh segala pihak menurut Dicky sangat perlu dilakukan. Hal ini mencegah berbagai bentuk ancaman risiko kesehatan masyarakat yang mungkin terjadi di masa depan.
5. Kemungkinan Masuk RI Kecil
Selain itu, Dicky juga mengimbau masyarakat Indonesia tidak perlu khawatir. Ia menuturkan kemungkinan virus B menyebar di Indonesia masih sangat kecil. Hal ini menurutnya juga berkaitan dengan perbedaan jenis kera yang ada.
"Kalau bicara potensi penyebaran virus B di Indonesia kecil sekali kemungkinannya sejauh ini. Karena ini bicara juga pada kera jenis kera yang memang hidup di suhu yang subtropis atau cenderung seperti di Eropa, Jepang, Korea, China termasuk Hong Kong ini kan hampir sama ya," jelasnya.
"Jadi ini bicara reservoirnya di mana virus bisa hidup di binatang itu, tapi binatang itu nggak sakit kan di kera ini ya," sambung Dicky.
Dicky mengingatkan bahwa sebagian besar penyebab penyakit masih banyak belum ditemukan dan ada di hewan liar. Hal ini perlu menjadi catatan bagi masyarakat untuk meminimalisir segala bentuk kontak dengan hewan liar untuk mencegah berbagai risiko penyakit yang mungkin belum ditemukan.
"Hewan-hewan liar ini, terutama kera sebaiknya tidak ada kontak langsung, diminimalisir apalagi yang liar ini. Karena apalagi Indonesia yang masih terbatas deteksinya surveilans-nya dan akan sulit untuk mengetahui adanya kasus-kasus seperti di Hong Kong ini," tandas Dicky.











































