Dilema Membatasi Akses Rokok di Kalangan Remaja

detikcom Leaders Forum

Dilema Membatasi Akses Rokok di Kalangan Remaja

Tim detikHealth - detikHealth
Rabu, 29 Mei 2024 08:36 WIB
Dilema Membatasi Akses Rokok di Kalangan Remaja
Foto: Grandyos Zafna
Jakarta -

Perilaku merokok di kalangan anak dan remaja kerap jadi sorotan di Indonesia. Upaya pengendalian terus dilakukan, namun aturan yang diperketat tidak selalu menjawab persoalan dan bahkan terkadang menimbulkan masalah baru.

Menurut Global Youth Tobacco Survey (GYTS) yang terakhir dilakukan pada 2019, perilaku merokok ditemukan pada 19,2 persen pelajar usia 13-15 tahun di Indonesia. Angka ini memang meningkat dibanding temuan survey yang sama pada 2016, yakni 18,3 persen.

Namun di sisi lain, data terbaru Survey Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan adanya tren penurunan. Prevalensi perokok yang merokok setiap hari dalam sebulan terakhir tercatat 4,6 persen, merokok kadang-kadang sebesar 2,8 persen, sedangkan mantan perokok di kelompok usia tersebut sebesar 0,9 persen.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengaruh iklan dan promosi rokok disebut-sebut sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi prevalensi perokok usia muda. GYTS 2019 mengungkap, remaja paling banyak terpapar iklan dan promosi rokok melalui televisi dan tempat penjualan masing-masing sebesar 65,2 persen.

Poin ini mendasari salah satu usulan revisi dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pelaksanaan UU Kesehatan 2023 terkait Pengamanan Zat Adiktif.

ADVERTISEMENT

Ketua Dewan Periklanan Indonesia (DPI), M Rafiq menilai, perumusan aturan yang kurang melibatkan industri kreatif dapat mengancam keberlangsungan industri tersebut. Keresahan tersebut disampaikannya juga dengan bersurat ke Presiden.

"Tujuannya bukan menentang, tetapi kita minta untuk dilibatkan, ditanya masukannya untuk menyampaikan potensi atau masalah dari perspektif kita, karena semua bisa diatur dengan baik," ungkap Rafiq dalam keterangannya, Selasa (21/5/2024).

Hal lain yang juga disorot adalah terkait penggunaan rokok elektronik dan vape. Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Prof Agus Dwi Susanto menyebut, penggunaan vape pada kelompok usia 15 tahun meningkat dalam 10 terakhir.

Riset yang dilakukan PDPI pada siswa SMA di Jakarta menunjukkan, persepsi rokok elektrik sebagai pilihan yang less harmfull membuat produk ini lebih diterima di kalangan remaja. Namun demikian, pandangan tentang dampak rokok elektrik masih jadi perdebatan.

Di sisi lain, sekretaris Jenderal Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), Garindra Kartasasmita, menyebut polemik tentang aturan baru tersebut membuat banyak pengusaha rokok elektrik menunda investasi di Indonesia. Pihaknya menilai, pelaku usaha dalam pembahasan tersebut kurang diberi ruang untuk berdiskusi.

"Dalam perumusan RPP ini kami melihat bahwa sisi penyeimbang tidak diberikan waktu dan tempat yang cukup untuk berdiksusi, sangat minim sekali," katanya.

Terkait daya beli yang dinilai mempermudah akses remaja terhadap produk rokok, berbagai usulan untuk meningkatkan harga jual juga bukan tanpa risiko. Asisten Deputi Pengembangan Industri, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Ekko Harjanto, menilai pengetatan justru memberi celah bagi rokok ilegal.

"Dari sisi sosial rokok ilegal menyebabkan peningkatan jumlah perokok, terutama di kalangan anak-anak dan remaja. Hal ini disebabkan oleh keterjangkauan harga yang pada akhirnya anak-anak ini mampu membeli," katanya.




(up/up)

Berita Terkait