Gaduh Pro Kontra KRIS Vs Kelas 1, 2, dan 3 BPJS Kesehatan

Round-Up

Gaduh Pro Kontra KRIS Vs Kelas 1, 2, dan 3 BPJS Kesehatan

Nafilah Sri Sagita K - detikHealth
Jumat, 07 Jun 2024 06:12 WIB
Gaduh Pro Kontra KRIS Vs Kelas 1, 2, dan 3 BPJS Kesehatan
BPJS Kesehatan. (Foto: dok. BPJS Kesehatan)
Jakarta -

Kelas rawat inap standar (KRIS) yang semula diwacanakan sebagai pengganti kelas 1, 2, dan 3 BPJS Kesehatan menuai banyak pro-kontra. Salah satu yang paling disorot adalah regulasi maksimum kapasitas tempat tidur dalam satu ruangan, utamanya untuk kelas 3. KRIS menetapkan maksimal empat bed pasien dalam satu ruangan rawat inap.

Dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI, sejumlah penolakan dilontarkan beberapa anggota. Sentilan keras dari Irma Chaniago Fraksi Nasdem misalnya, dirinya mempertanyakan evaluasi kajian KRIS yang hingga kini diklaim belum dibahas bersama Komisi IX DPR RI. Hal ini dinilai mengkhawatirkan lantaran masih banyak keraguan terkait kesiapan rumah sakit, khususnya di daerah, untuk memastikan KRIS tidak malah menghambat pengobatan pasien karena pengurangan bed atau tempat tidur.

Menurut Irma, tanpa penerapan KRIS saja, tidak sedikit masyarakat di wilayah khususnya daerah masih terhambat dalam akses pengobatan dengan dalih penuhnya ruangan rawat inap, meski satu ruangan rawat inap bisa mencapai 12 orang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kenyataannya sekarang RS belum siap, kita ini di daerah kami punya dapil, kami tau persis dengan 12 per kamar saja tidak tertampung, banyak sekali masyarakat yang tidak bisa masuk RS karena rawat inap, jadi jangan ngegampangin," kata dia, Jumat (6/6/2024).

Keresahan yang tidak jauh berbeda diutarakan anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto, dirinya mengingatkan Kemenkes RI untuk berhati-hati dalam penerapan kebijakan KRIS. Menurutnya, ada potensi kehilangan tempat tidur hingga lebih dari 100 ribu, yang dinilai tentu berdampak pada akses masyarakat di fasilitas kesehatan kerja sama BPJS.

ADVERTISEMENT

"Hitungan saya potensi kehilangan (tempat tidur rumah sakit) ada 125.000 tempat tidur. Itu yang saya anggap menurunkan akses orang ketika sakit tapi tempat tidur tidak ada," beber Edy.

Menambah kekhawatiran tersebut, anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKS Netty Prasetiyani meyakini pengurangan bed pasien bisa menambah antrean di pelayanan. Bukan tidak mungkin, penetapan KRIS disebutnya malah menimbulkan masalah baru.

Dirinya meminta jangan sampai aturan yang berlaku bertolak belakang dan menyalahi amanat undang-undang terkait jaminan dan hak warga negara untuk mendapatkan kesehatan.

"Jangan sampai menimbulkan masalah baru, jangan sampai kemudian tidak memikirkan dan menggeneralisasi antrean terlalu panjang," sorotnya.

"Boleh jadi mereka terpaksa pergi ke RS yang nggak ada kerja sama dengan BPJS," ungkapnya.

Pemahaman KRIS di Masyarakat

Persoalan lain yang juga menjadi catatan di balik KRIS disinggung Dewan Pengawas BPJS Kesehatan, Abdul Kadir. Pria yang juga sempat menjabat Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes RI tersebut meminta pemerintah melakukan sosialisasi secara masif terkait ketentuan KRIS.

Pasalnya, belum banyak warga Indonesia yang benar-benar memahami perubahan dan perbedaan KRIS serta kelas 1, 2, dan 3 BPJS Kesehatan.

"Perlu dilakukan sosialisasi secara masif kepada seluruh peserta agar mereka memahami filosofi adanya KRIS," kata Prof Kadir, dalam kesempatan serupa.

Perpres Nomor 59 Tahun 2004 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tentang Jaminan Kesehatan menunjukkan penerapan iuran, tarif, hingga manfaat KRIS dilakukan antarlembaga dan kementerian dengan hasil evaluasi selambatnya ditetapkan 1 Juli 2025.

Menurut Prof Kadir, evaluasi tersebut harus dilakukan secara menyeluruh, bukan hanya dari sisi tarif, iuran, tetapi kesiapan seluruh pihak dan dampak yang bisa terjadi dari penerapan KRIS. .

"Juga memperhatikan jumlah peserta JKN yang semakin besar. Tentu kita tidak mengharapkan dengan adanya KRIS ada peserta JKN yang tidak dapat layanan karena antrean yang panjang," lanjut dia.


NEXT: Wamenkes Buka Suara

Wakil Menteri Kesehatan RI Dante Saksono Harbuwono menilai kekhawatiran yang mencuat dari sejumlah pihak tidak berdasar. Sebab, menurut catatan Kemenkes RI, kekurangan penerapan KRIS hanya berkisar 9,1 persen dari keseluruhan bed yang disediakan untuk BPJS.
Terlebih, masing-masing bed occupancy rate (BOR) berada di kisaran 50 sampai 60 persen.

"Kami mencatat 253.124 tempat tidur, dan apabila KRIS diterapkan akan potensi kehilangan TT adalah menjadi 23.227 tt, ini identik dengan 9,1 persen dari seuruh TT yang pada dalam perawatan BPJS," sorot dia.

"Kehilangan TT ini tidak serta merta mengurangi ekuitas masyarakat untuk bisa masuk rs, karena apa? Karena tidak semua RS punya BOR yang sama, secara keseluruhan BOR di RS-RS yang kami 50-60 persen, jadi justru dengan menerapkan, mengurangi TT ini, BORnya akan meningkat, itu mengenai ekuitas," klaimnya.

Bagaimana Nasib Iuran?

Wamenkes menyebut iuran kelas rawat inap standar (KRIS), perbaikan kelas 1, 2, dan 3 BPJS Kesehatan masih dalam pembahasan. Adapun sejumlah kementerian yang kini tengah mengevaluasi kemungkinan perubahan iuran termasuk Kementerian Keuangan, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), BPJS, hingga Kementerian Kesehatan.

Pihaknya mengklaim iuran yang akan diberikan dibuat semaksimal mungkin untuk tidak membebani rakyat.

"Nanti kita mengeluarkan iuran berapa yang paling pas, yang bisa diterima masyarakat, tidak memberatkan masyarakat, dan masukan dari anggota dewan sekalian akan kami jadi masukan evaluasi KRIS, ini apakah akan diteruskan, evaluasi dahulu, ditetapkan atau ditunda sementara," beber dia.

Dalam kesempatan serupa, Direktur Utama BPJS Kesehatan Prof Ghufron Ali Mukti menyebut belum ada perubahan regulasi iuran BPJS Kesehatan hingga saat ini. Meski begitu, dirinya menyebut ke depan akan ada evaluasi yang mengikuti perbaikan dari kelas 1, 2, dan 3 BPJS Kesehatan saat KRIS mulai berlaku.

"Jadi mengenai besaran iuran karena Perpres 59 ini perbaikan jadi bukan penggantian, tetapi perbaikan dari Perpres 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, itu disebutkan di situ besaran iuran bagi peserta PBPU dan peserta bukan pekerja manfaat pelayanan di ruang kelas III," terang dia dalam rapat dengan Komisi IX DPR RI, Kamis (6/6/2024).

Khusus untuk skema iuran lima persen dari pendapatan untuk sektor formal ke depannya tak ada wacana perubahan. Diketahui pada sektor formal seperti PPU dilihat dari income atau pendapatan sebesar 5 persen dari batas UMP, 5 persen tersebut ditanggung oleh pemberi kerja sebesar 4 persen dan 1 persen oleh pekerja.

Halaman 2 dari 2
(naf/naf)

Berita Terkait