Koordinator Divisi Riset dan Teknologi FMCG Insights, Muhammad Hasan mengimbau agar para akademisi menghindari penggunaan analogi rancu yang bisa mengecoh pemahaman publik atas potensi bahaya Bisfenol A (BPA).
Diketahui, BPA merupakan bahan kimia yang terdapat pada galon berbahan plastik keras. Jika terpapar dalam tubuh, senyawa BPA bisa memicu berbagai penyakit, termasuk kanker dan kemandulan.
"Sangat disayangkan bila akademisi sampai menyepelekan efek paparan sinar matahari pada galon guna ulang berbahan plastik keras polikarbonat dengan membawa analogi efek paparan sinar matahari pada kursi plastik," kata Hasan dalam keterangan tertulis, Sabtu (20/7/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya, seorang akademisi di sebuah universitas ternama di Bandung belum lama ini mengibaratkan efek paparan sinar matahari pada galon guna ulang seperti efek paparan sinar matahari pada kursi plastik.
Menanggapi hal ini, analogi seperti itu merupakan bentuk sofistikasi masalah yang bisa mengaburkan pemahaman masyarakat.
"Masalahnya, berbeda dengan efek paparan sinar matahari pada kursi plastik yang jelas terlihat mata, peluluhan BPA pada galon guna ulang akibat paparan sinar matahari sifatnya tak kasat mata, hanya bisa dikenali dari uji laboratorium," papar Hasan.
Hasan menyebut kursi plastik bukanlah bahan kontak pangan seperti halnya plastik polikarbonat pada kemasan galon guna ulang. "Toh faktanya juga kursi plastik diproduksi massal dengan standar higienis dan keamanan yang jauh berbeda dengan standard produksi galon berbahan plastik keras polikarbonat," imbuhnya.
Hasan menilai akademisi seperti terburu-buru ingin mengunci wacana pelabelan risiko BPA dengan alasan untuk meredam kegaduhan di tengah masyarakat.
"Ilmuwan semestinya sadar bahwa pengetahuan, termasuk plastik polikarbonat, selalu berkembang, terkoreksi dan menyempurna seiring kemajuan sains dan teknologi," jelasnya.
Ia menjelaskan BPA sebagai bahan utama produksi plastik polikarbonat memang sempat jamak dianggap aman untuk digunakan sebagai kemasan pangan. Namun penelitian di berbagai negara, dan belakangan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), menyimpulkan penggunaan plastik polikarbonat sebagai kemasan pangan dianggap berisiko pada kesehatan masyarakat.
Hasan menambahkan, sebagai bahan utama produksi polikarbonat, BPA berfungsi menjadikan plastik kuat, mudah dibentuk dan tahan panas. Namun penggunaannya membawa risiko tersendiri lantaran ada residu BPA pada plastik polikarbonat. Oleh karena itu, otoritas keamanan pangan di berbagai negara telah menetapkan ambang batas migrasi BPA (perpindahan zat dari kemasan pangan ke pangan) pada plastik polikarbonat yang digunakan sebagai kemasan pangan.
Di Indonesia, BPOM menetapkan batas migrasi BPA pada plastik polikarbonat sebesar 0,6 mg/kg. Pemantauan rutin BPOM atas level migrasi BPA pada galon guna ulang kurun 2016-2011 menunjukkan migrasi BPA pada galon guna ulang masih di bawah ambang batas berbahaya.
Namun dari sebuah pemantauan post-market pada Februari 2022, BPOM menyimpulkan level migrasi BPA pada galon air minum yang beredar luas di tengah masyarakat 'menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan'. Terkait hal itu, BPOM pun merancang sebuah peraturan baru terkait pelabelan risiko BPA pada galon plastik keras untuk mengantisipasi masalah-masalah kesehatan publik yang mungkin muncul di masa datang.
Hasan berharap pemerintah dapat menyegerakan pengesahan rancangan peraturan pelabelan risiko BPA agar konsumen terbantu dalam memilih produk yang aman. Pemerintah juga diharapkan bisa menerbitkan pedoman pengangkutan dan penjualan air galon untuk memastikan produk tetap terjaga mutunya, aman dan layak dikonsumsi saat sampai ke tangan konsumen
"Asosiasi industri AMDK sering sesumbar kalau mereka beroperasi di bawah pengaturan yang sangat ketat dari pemerintah, tapi nyatanya, aturan yang ada sejauh ini, termasuk SNI Air Mineral dan Good Manufacturing Practices yang diterbitkan Kementerian Perindustrian, luput dari mengatur detail terkait pengangkutan, penyimpanan dan penyajian produk air kemasan," katanya.
Menurut Hasan, ketiadaan aturan itu merugikan konsumen. "Ironis sebenarnya mengingat untuk penjualan kolang-kaling dan cendol di pasar tradisional, pemerintah sudah punya pedoman detilnya sementara industri air kemasan yang perputaran bisnisnya triliun rupiah tak ada acuan resmi soal pengangkutan dan penjualannya," tegasnya.
Sebelumnya Kepala BPOM, Penny K. Lukito memaparkan rencana pelabelan tersebut bukan bertujuan untuk membunuh industri air kemasan. Justru, katanya, kebijakan tersebut untuk melindungi industri dari tanggung jawab (liability) di masa datang senyampang memberikan perlindungan kesehatan ke khalayak luas.
"Aspek keamanan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) terkait dengan potensi resiko kesehatan konsumen harus menjadi prioritas," paparnya.
Diketahui, Riset Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada Maret 2022 menemukan mayoritas pengangkutan air galon di Jakarta Raya menggunakan kendaraan terbuka. Dengan demikian, produk tersebut kerap terpapar sinar matahari langsung untuk waktu yang lama.
Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi menilai hal tersebut cermin rendahnya komitmen industri dan asosiasi industri dalam memastikan produk air kemasan tetap terjaganya mutunya, aman dan layak dikonsumsi saat sampai ke tangan konsumen.
"Pengangkutan galon tidak boleh lagi terpapar sinar matahari, harus tertutup," pungkasnya.
Simak Video "Inestigasi KKI: 57% Galon Beredar Beresiko pada Kesehatan, Usia >2 Tahun"
[Gambas:Video 20detik]
(prf/ega)











































