Pentingnya Peran Keluarga dalam Eliminasi Kasus TBC di Indonesia

Pentingnya Peran Keluarga dalam Eliminasi Kasus TBC di Indonesia

Khadijah Nur Azizah - detikHealth
Kamis, 25 Jul 2024 09:36 WIB
Pentingnya Peran Keluarga dalam Eliminasi Kasus TBC di Indonesia
Foto: Getty Images/scyther5
Jakarta -

Tuberkulosis merupakan infeksi kronis yang membutuhkan pengobatan jangka panjang. Hanya saja tak sedikit pasien TBC yang akhirnya putus obat karena banyaknya stigma mengenai penyakit ini.

Pasien TBC kerap menghadapi konsekuensi yang mengerikan setelah terdeteksi mengidap TBC. Mereka menghadapi berbagai hambatan dalam kehidupan sehari-hari, serta isolasi dan penolakan dari keluarga dan komunitas masing-masing.

"Saya termasuk yang lama dalam menjalani pengobatan TBC. Saya bahkan harus putus kuliah kedokteran karena stigma yang besar terkait penyakit ini," kenang dr Farahdiba Zalika Fatah, seorang survivor TBC-XDR.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

TBC-XDR atau extensively drug resistance adalah penyakit TBC MDR disertai dengan resistansi terhadap golongan fluorokuinolon dan salah satu OAT injeksi lini kedua. Penyakit TBC-XDR merupakan tahap tingkatan hampir akhir sebelum TBC TDR (totally drug resistance). Efek sampingnya lebih kompleks seperti dapat menyebabkan gagal jantung dan bakterinya lebih jago bermutasi dibandingkan dengan yang sebelumnya.

dr Farah tak pernah mengira akan mendapatkan stigma yang begitu besar mengingat rekannya seharusnya lebih paham mengenai pencegahan dan penanganan TBC. Meski mendapat dukungan dari dosennya yang juga seorang dokter, Farah berada di posisi terdesak sehingga membuatnya harus cuti dari kuliah kedokteran.

ADVERTISEMENT

Beruntung dia memiliki ibu yang selalu mendukung penuh dan memberinya motivasi untuk sembuh. Ibunya berperan sangat besar dalam proses penyembuhan Farah dari TBRO yang diidapnya.

"Setiap hari harus bolak balik ke rumah sakit kan nggak mudah. Alhamdulillah bersyukur, ada ibu yang selalu menemani," kenang dia.

Namun Farah tak menampik setiap pasien TBC tidak seberuntung dirinya. Kebanyakan orang dengan TBC mendapat stigma yang begtu berat sehingga membuat mereka terpaksa menghentikan pengobatan.

Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Dr dr Erlina Burhan mengatakan salah satu stigma yang masih melekat kuat yakni TBC adalah penyakit kutukan sehingga orang yang terinfeksi harus dijauhi.

"TBC itu adalah penyakit yang bisa disembuhkan dan bisa dicegah jadi jangan dicap dia jadi sampah masyarakat atau pola bukan terlalu dikucilkan, nggak boleh ada stigma untuk pasien TBC," kata dr Erlina saat berbincang dengan detikcom, Senin (22/7/2024).

Stigma ini terjadi karena belum banyak keluarga yang paham bagaimana merawat orang dengan TBC. Keluarga harus mengenal penyakit tersebut, mengetahui pengobatannya, serta bagaimana pencegahan penularannya.

Keluarga kemudian mendorong pasien untuk melakukan pengobatan dan perawatan TBC yang tepat dan sampai tuntas. Selama proses penyembuhan yang berlangsung berbulan-bulan, orang dengan TBC kerap merasa frustasi dan tertekan. Di sinilah peran keluarga penting dalam mendukung proses penyembuhan mereka.

"Merawat pasien TBC itu kalau bisa pakai masker, tapi kalau pengobatannya sudah dua bulan apalagi jika dahak pasien sudah negatif, itu sudah tidak menular jadi nggak usah terlalu khawatir juga," jelas dr Erlina.




(kna/kna)

Berita Terkait