Kandungan bisphenol A (BPA) yang banyak ditemukan di wadah makanan dan minuman plastik kerap dikaitkan dengan sejumlah masalah gangguan kesehatan, salah satunya kanker. Masih ada kekhawatiran di tengah masyarakat terkait kandungan BPA yang terdapat dalam produk wadah plastik.
Dokter ahli kanker dr Andhika Rachman, SpPD-KHOM menyebut belum ada penelitian yang secara konklusif menyatakan bahwa BPA bisa memicu kanker. Menurutnya, kanker merupakan sebuah penyakit multifaktorial yang tidak disebabkan hanya satu penyebab saja.
Terlebih, hingga saat ini riset yang dilakukan juga belum secara langsung menemukan keterkaitan paparan BPA yang masuk ke dalam tubuh dengan risiko kanker. dr Andhika menjelaskan bahwa paparan BPA baru bisa berbahaya apabila diterima dalam jangka waktu panjang dan konsentrasi yang tinggi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Paparan BPA dalam jumlah yang kecil tidak berdampak signifikan pada kesehatan seseorang.
"Masih terlalu dini untuk menyimpulkan BPA menyebabkan kanker secara langsung," ujar dr Andhika dalam acara detikcom Leaders Forum, Rabu (17/7/2024).
"Paparan BPA yang bertahun-tahun baru bermasalah. kalau dia rendah, kemudian berulang-ulang-ulang, itu juga bisa mengganggu kesehatan. Tapi tentu ada level-level yang berbeda. Tetapi sekali lagi, sebenarnya saya ingin mengumpulkan, tidak semua kemudian lantas akan menjadi kanker," ujarnya.
Selain itu, masih ada banyak lagi disinformasi soal BPA yang ada di tengah masyarakat. Meluruskan informasi yang keliru, berikut ini penjelasan para pakar:
Baca juga: Benarkah BPA Memicu Kanker dan Autisme? |
1. BPA Keluar Melalui Urine
Pakar polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof Akhmad Zainal Abidin menjelaskan bahwa BPA yang masuk ke dalam tubuh sebagian besar akan diproses dan dikeluarkan melalui urine. Ia menambahkan, batas aman paparan konsumsi BPA maksimal sebanyak 0,6 mikrogram.
Sedangkan, jumlah BPA sisa yang bisa ditemukan di dalam tubuh jauh di bawah ambang batas tersebut.
"BPA ini kalau dilihat karakternya adalah bahan kimia yang bisa diolah oleh tubuh dan dikeluarkan lagi dalam bentuk urine, keringat," kata Prof Akhmad.
Senada dengan hal tersebut, dr Aditiawarman Lubis, MPH dari Lembaga Riset Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyebut kandungan BPA yang tersisa di tubuh ribuan kali lebih sedikit dibandingkan dengan batas aman 0,6 mikrogram tersebut. Hal itu membuat risiko kesehatan yang dapat dialami oleh masyarakat sangat-sangat kecil.
"Dari BPA yang masuk ke dalam tubuh, sekitar 90 persennya itu sudah dinetralkan oleh tubuh, jadi nggak ada isu baik dari BPA-nya maupun yang lain, itu sudah dinetralkan," katanya.
2. Tips Menggunakan Wadah Plastik
dr Aditiawarman mengatakan masyarakat tidak perlu khawatir berlebihan terhadap kandungan BPA yang masuk ke dalam tubuh. Menurutnya yang perlu menjadi fokus masyarakat adalah menggunakan wadah plastik secara bijaksana untuk meminimalisir paparan BPA yang masuk ke dalam tubuh.
"Jadi intinya itu lebih ke mengurangi paparan, karena kalau dihilangkan sama sekali sepertinya tidak mungkin," katanya.
Cara bijaksana yang dapat dilakukan masyarakat menurut dr Aditiawarman adalah dengan menggunakan wadah plastik dengan semestinya. Salah satunya adalah dengan tidak memanaskan makanan menggunakan wadah plastik.
Sama halnya dengan minuman, ia menyarankan masyarakat tidak menyimpan minuman dengan suhu tinggi di dalam wadah plastik. Sebagai gantinya, masyarakat bisa menggunakan wadah minuman berbahan kaca atau stainless steel.
"Jadikan itu sebagai wadah penyimpanan saja, bukan pengolahan. Jadi artinya jangan langsung memasak di kemasannya," tambahnya.
NEXT: 'BPA Free' bukan jaminan pasti aman
3. Label 'BPA Free' Belum Tentu Aman
Label 'BPA Free' kerap ditemukan dalam produk wadah makanan dan minuman. Produk dengan label ini kerap dipilih oleh masyarakat karena dianggap lebih aman bagi kesehatan. Apakah hal itu memastikan produk sudah pasti aman?
Ternyata belum tentu demikian. Prof Akhmad mencontohkan produk wadah mangkok yang tidak mengandung BPA tidak serta merta menjadi pasti lebih aman. Bisa jadi, ada bahan selain BPA yang digunakan untuk membuat wadah tersebut yang juga berisiko untuk kesehatan.
"Misalnya ada formalin, bahan-bahan yang mangkok, itu kan yang berbahaya di sana kan formalin. Ditulis BPA Free ya useless karena bahan yang berbahaya di sana formaldehida yang menyebabkan mata bisa buta, otak bisa rusak," katanya.
"Lalu ada lagi zat-zat polistirena, yang berbahaya bukan BPA tapi stiren. Jadi kalau ditulis BPA Free, benar, tapi doesn't mean it is safe. Karena yang berbahaya itu stirena. Jadi mohon pengertian ini dipahami karena tanda-tanda itu bisa menipu," sambung Prof Akhmad.
Prof Akhmad lebih lanjut menjelaskan soal kode angka yang kerap muncul di bawah produk wadah plastik. Ia mengatakan bahwa label angka dari 1 sampai 7 yang ada sebenarnya berkaitan dengan jenis plastik yang digunakan.
Ia menambahkan kode yang ada juga digunakan untuk mempermudah proses daur ulang nantinya dan bukan sebagai acuan dari keamanan produk plastik tersebut.
"Tujuan memberi nomor itu bukan untuk menyatakan plastik ini aman atau tidak aman, (maupun) sehat atau tidak sehat. Tapi tanda itu untuk memudahkan daur ulang," katanya.
"Ini kalau mau diproses lagi. Terus sudah jadi sampah, biar tidak usah dibawa ke laboratorium untuk memeriksa jenis plastiknya apa. Lihat dari tandanya, 'Oh ini polyethylene, polypropylene'," pungkas Prof Akhmad.











































