Dugaan kasus bullying di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (FK Undip) yang berujung kematian seorang residen atau calon dokter spesialis, memasuki babak baru. Keluarga almarhumah dr ARL melaporkan seniornya ke polisi terkait intimidasi hingga pemerasan.
Hal ini diungkap pengacara keluarga almarhumah, Misyal Achmad, saat ditemui di Polda Jawa Tengah, Semarang, Rabu (4/9/2024). Pihaknya melaporkan lebih dari satu orang senior terkait kasus tersebut.
"Sementara ini, dari seniornya. Nanti hasil pengembangan penyidikan seperti apa, karena kan ada pembiaran di sini kan," kata Misyal, dikutip dari detikJateng.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melalui pengacara, keluarga dr ARL juga menyerahkan bukti-bukti yang memperkuat dugaan intimidasi dan pemerasan oleh senior selama menempuh PPDS anestesi di FK Undip. Di antaranya mencakup bukti percakapan dan mutasi rekening.
"Ada banyak chat-nya, rekening, semua sudah kita serahkan," tambahnya.
Menurut pengacara, keluarga dr ARL mengaku sudah pernah memberitahukan masalah tersebut kepada kepala program studi namun tidak mendapat tanggapan. Semasa menempuh pendidikan, dr ARL disebut menjalani jam kerja yang tidak lazim yakni mulai jam 3 pagi hingga setengah dua malam.
"Ibunya sudah melaporkan, anak saya seperti ini, tapi tetep tidak ada perubahan dengan jam dia belajar, terus tidak ada penanganan yang maksimal dari guru-gurunya, sehingga terjadi hal seperti ini," lanjutnya.
Keluarga berharap, pelaporan ini dapat menjadi pintu masuk bagi korban-korban lain untuk berani mengadu. Diharapkan juga tidak muncul korban-korban lain di kemudian hari.
NEXT: Hasil investigasi Kemenkes diungkap pekan ini
Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi Publik Kementerian Kesehatan dr Siti Nadia Tarmizi mengatakan, hasil investigasi yang dilakukan bersama kepolisian akan diungkap dalam waktu dekat. Sejauh ini, pihaknya telah mempelajari bukti-bukti dan mewawancarai pihak-pihak terkait baik di kampus maupun rumah sakit.
"Kita berharap dalam minggu ini," kata dr Nadia.
Terkait maraknya kasus bullying di PPDS, dr Nadia menyebut korban cenderung merasa insecure untuk mengadu atau 'speak up'. Tradisi bullying menurutnya terjadi secara sistematis lantaran diwariskan secara turun temurun dari para senior ke juniornya.
"Misalnya di tingkat awal, di tingkat satu, mereka menyediakan biaya-biaya yang bukan termasuk biaya pendidikan," papar dr Nadia.
"Begitu mereka jadi senior, mereka mewariskan kebiasaan ini kepada juniornya," lanjutnya.
Sejauh ini, Kemenkes disebutnya telah menerima 401 laporan dugaan bullying di kalangan pendidikan kesehatan. Sebanyak 237 terjadi di lingkungan rumah sakit vertikal yang dibawahi langsung oleh Kemenkes, dan 100 kasus di antaranya sudah ditindaklanjuti.
"Artinya kita sudah berikan sanksi," sebut dr Nadia.











































