Sebuah penelitian terbaru mengungkap efek infeksi COVID-19 terhadap perubahan kesehatan otak. Bahkan peneliti mengatakan kondisi itu menyebabkan penuaan otak setara 20 tahun, yang akhirnya berpengaruh pada kondisi kognisi seseorang.
Tidak hanya menyebabkan berbagai gejala pilek dan flu, infeksi virus SARS-CoV-2 juga berpotensi memengaruhi sistem dalam tubuh, salah satunya pada otak. Penelitian mengungkapkan pada kasus infeksi parah dan jangka panjang, gejala seperti 'brain fog' banyak dilaporkan.
Brain fog merupakan sekumpulan gejala yang mengganggu cara berpikir, ingatan, dan konsentrasi seseorang. Meski begitu, penelitian komprehensif lanjutan masih diperlukan untuk mengetahui bagaimana COVID-19 bisa memengaruhi kognitif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Setelah dirawat di rumah sakit akibat COVID-19, banyak orang melaporkan gejala kognitif berkelanjutan yang sering disebut dengan 'brain fog'," ucap penulis studi Dr Greta Wood, dikutip dari IFLScience, Rabu (25/9/2024).
Penelitian dilakukan kepada 351 orang dengan riwayat akibat COVID-19 yang mengalami kondisi parah. Mereka dibandingkan dengan hampir 3 ribu orang subjek kontrol yang disesuaikan dalam berbagai faktor termasuk usia dan jenis kelamin.
Hasilnya, mereka yang mengalami maupun tidak mengalami komplikasi neurologis akut COVID-19 memiliki kognisi yang lebih buruk.
Kemampuan kognitif pasien ditemukan pada tingkat yang diperkirakan berusia 20 tahun lebih tua. Hal ini bahkan berlaku bagi responden tidak memiliki riwayat gejala neurologis sebelum terinfeksi COVID-19.
Apa yang Terjadi pada Otak Pasien?
Ketika mereka menjalani pemindaian MRI 12-18 bulan setelah dirawat di rumah sakit akibat COVID-19, pasien ditemukan mengalami penurunan gray matter di beberapa bagian otak dan meningkatkan kadar protein yang terkait dengan cedera otak.
Gray matter merupakan jaringan yang berfungsi untuk memproses dan mengatur informasi yang diterima oleh otak.
"Hubungan antara biomarker cedera sel otak dalam darah dan berkurangnya volume daerah otak pada pemeriksaan MRI menunjukkan bahwa mungkin ada mekanisme biologis yang dapat diukur mendasari hal ini," ucap penulis korespondensi Profesional Benedict Michael.
Setelah penemuan tersebut, langkah selanjutnya yang harus diketahui adalah mencari mekanisme yang mendasari hal tersebut. Apakah hal tersebut serupa pada infeksi lain, atau hanya pada COVID-19.
Perlu digarisbawahi penelitian ini dilakukan pada pasien COVID-19 dengan kondisi yang parah. Belum diketahui secara jelas bagaimana efeknya bagi mereka yang mengalami infeksi ringan.
(avk/naf)











































