Masih Banyak Warga +62 Pilih Berobat ke LN, Yakin RI Bisa Jadi Medical Tourism?

Masih Banyak Warga +62 Pilih Berobat ke LN, Yakin RI Bisa Jadi Medical Tourism?

Nafilah Sri Sagita K - detikHealth
Senin, 14 Okt 2024 10:00 WIB
Masih Banyak Warga +62 Pilih Berobat ke LN, Yakin RI Bisa Jadi Medical Tourism?
Foto: Getty Images/graphixel
Jakarta -

Belum lama ini, foto poster ajakan berobat ke Malaysia yang terpampang di depan kantor Kedubes, viral di media sosial. Kebetulan, jarak gedung Kedubes Malaysia hanya berkisar 900 meter dari kantor Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI).

Banyak publik menilai poster tersebut menjadi sindiran kepada pelayanan kesehatan Indonesia yang masih tertinggal dari negara tetangga termasuk Malaysia. Hal ini sejalan dengan tren kurang lebih satu juta orang setiap tahun berobat ke luar negeri dengan kisaran total pengeluaran 170 triliun rupiah.

Terbanyak untuk pengobatan kardiovaskular hingga kanker.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perhimpunan Hematologi Onkologi Medik Ilmu Penyakit Dalam (PERHOMPEDIN) menyebut banyak faktor yang melatarbelakangi tingginya pengobatan ke luar negeri. Salah satu yang paling disorot adalah lama waktu pelayanan.

Dokter spesialis penyakit dalam dan onkologi Ronald A Hukom menggambarkan perbandingannya. Misalnya, pasien rela berobat ke Penang, Malaysia, lantaran hanya membutuhkan pengobatan maksimal selama sepekan hingga selesai, alih-alih harus menjalani perawatan yang kurang lebih sama di Indonesia dengan memakan waktu lebih lama, bisa sampai empat minggu.

ADVERTISEMENT

Hal semacam itu disebutnya masih terjadi. Di sisi lain, khusus untuk pasien kanker, beberapa obat kemoterapi juga belum tercover atau ditanggung BPJS Kesehatan.

"Obat-obat kemoterapi tidak murah, BPJS belum menyetujui obat-obat tertentu karena katanya terlalu mahal, memang ini obat mahal, tetapi penggunaannya terlalu boros tidak ada pengawasan," tutur dr Ronald dalam konferensi pers, Sabtu (12/10/2024).

"Sementara di pihak lain kita mita obat-obat baru ini disetujui. Sebenarnya yang harus diperhatikan adalah kontrol dari bagaimana obat-obat itu nantinya digunakan," sambung dia.

Wacana Medical Tourism

Pemerintah belakangan berupaya untuk membuat medical tourism di sejumlah wilayah, termasuk Bali. dr Ronald menyebut penyebaran rumah sakit dengan kelengkapan dokter spesialis, juga fasilitas dan alat kesehatan memang perlu diupayakan pada daerah-daerah terdekat dengan negara tetangga.

"Kita sudah harus mulai, oke misalnya tenaga dokter-nya masih belum cukup. Tapi kan ada rumah sakit yang dokter onkologinya sudah ideal, masa sih Kemenkes RI dengan RS yang dokter lengkap, ada fasilitas radiologi, terapi, tidak bisa memilih,"

"Taruh lah di Sumatera, misalnya tiga RS saja di sana, yang bisa memberikan pelayanan kanker seperti penanganan di Singapura."

Sama halnya dengan di Kalimantan, Sulawesi, hingga Bali. dr Ronald mengusulkan sedikitnya dibuat masing-masing lima sampai enam RS yang bisa bersaing dengan Malaysia hingga Singapura.

"Sehingga orang itu tidak lagi berobat berpikirnya ke Singapura dan Malaysia. Langkah yang betul-betul memperbaiki kondisi itu belum nyata terlihat," sesalnya.

"Cari 20 RS yg difokuskan di pelayanan kanker di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi yang memang membuat orang Indonesia juga berpikir, ada kok yg kayak di RS Sunway Kuala Lumpur. Dokter kita tidak mungkin tidak bisa setara dengan Australia, Malaysia," pungkas dia.




(naf/kna)

Berita Terkait