Lagi! BPOM Gerebek Pabrik Obat Bahan Alam Ilegal, Jamu 'Dioplos' Dexametason

Lagi! BPOM Gerebek Pabrik Obat Bahan Alam Ilegal, Jamu 'Dioplos' Dexametason

Averus Kautsar - detikHealth
Jumat, 18 Okt 2024 12:45 WIB
Lagi! BPOM Gerebek Pabrik Obat Bahan Alam Ilegal, Jamu Dioplos Dexametason
Foto ilustrasi: iStock
Jakarta -

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI kembali mengungkap sebuah pabrik obat bahan alam ilegal yang tidak sesuai dengan ketentuan. Kepala BPOM RI Taruna Ikrar menyebut bahwa pabrik obat bahan alam yang ditemukan di Kabupaten Kampar, Kabupaten Riau itu memproduksi obat bahan alam yang dicampurkan dengan bahan kimia obat (BKO).

Dalam aturan yang berlaku, produksi obat berbahan alam tidak dapat dicampurkan dengan BKO. Penggunaan BKO harus dilakukan melalui pengawasan dan konsultasi dari dokter.

"Agen tersebut memproduksi obat bahan alam yang tidak ada izin edar Badan POM, tidak memenuhi standar atau persyaratan keamanan, persyaratan keamanan dan manfaat, dan persyaratan mutu," kata Taruna Ikrar dalam konferensi pers, Jumat (18/10/2024).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Adapun obat berbahan alam yang ditemukan diberi merk Jamu Dwipa Cap Tawon Klanceng Pegal Linu dan Pegal Linu Asam Urat Cap Jago Joyokusumo.

Taruna mengatakan obat bahan alam itu dibuat menggunakan BKO berupa dexametason, parasetamol, dan piroxicam. Apabila obat bahan alam ini dijual bebas dan dikonsumsi sembarangan, maka dapat berisiko memunculkan efek samping yang berbahaya bagi penggunanya.

ADVERTISEMENT

"Konsumsi obat bahan alam tanpa izin edar atau mengandung BKO sangat berisiko bagi kesehatan. Misalnya dexametason, parasetamol, dan piroxicam dapat menimbulkan efek samping gangguan pertumbuhan, gangguan hormon, gangguan osteoporosis, hepatitis, gagal ginjal, dan kerusakan hati," ujar Taruna.

"Bayangin rakyat kita memakai ini dan berdampak seperti itu kan sangat berbahaya," sambungnya.

Taruna mengungkapkan pabrik ilegal tersebut sudah memproduksi obat bahan alam selama 9 bulan. Kapasitas produksi pabrik tersebut mencapai 2.400-4.800 botol dalam waktu sebulan.

Berdasarkan aturan yang berlaku dalam UU No 17 tahun 2023 tentang Kesehatan, pelaku terancam hukuman penjara paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar. Pada saat ini, pelaku masih dalam proses pencarian.




(avk/naf)

Berita Terkait