Pembiayaan pengobatan penyakit ginjal kronis pada 2024 mencapai Rp 11 triliun karena adanya peningkatan jumlah pasien yang mendapat perawatan. Data dari BPJS Kesehatan menujukkan terdapat 134.057 pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa atau cuci darah di tahun 2024.
"Tingkat rawat inap pasien gagal ginjal cukup tinggi. Walau sudah cuci darah, tetap bolak balik k RS," kata Deputi Direksi Bidang Kebijakan Penjaminan Manfaat BPJS Kesehatan Ari Dwi Aryani dalam agenda World Kidney Day, Rabu (12/3/2025).
Sementara itu data dari Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2023 mencatat insidensi kumulatif pasien yang menjalani dialisis sebanyak 60.526, dengan prevalensi kumulatif mencapai 127.900 pasien.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketua Umum Pernefri dr Pringgodigdo Nugroho, SpPD KGH mengatakan penyakit ginjal kronik (PGK) sering kali tidak terdeteksi hingga fungsi ginjal telah menurun lebih dari 90 persen. Ketika fungsi ginjal menurun dan tak lagi bisa dikompensasi oleh kedua organ tersebut, maka pasien harus menjalani prosedur hemodialisa.
"Bagaimana kita bisa menghentikan orang sampai tingkat gagal ginjal, inilah peran untuk mendeteksi dini," kata dr Priggodigdo.
Terkait faktor pemicu gagal ginjal kronis, dr Priggodigdo menyebut hipertensi dan diabetes merupakan dua penyakit penyebab terbesar kondisi tersebut. Selain itu, faktor lain seperti penuaan populasi, obesitas, kemiskinan, prematuritas, dan masalah lingkungan juga berkontribusi menjadi pemicu gagal ginjal.
Penyakit gagal ginjal kronik bersifat irreversible atau tidak dapat pulih sepenuhnya, tetapi bisa diperlambat perkembangannya jika dideteksi lebih awal.
"Oleh karena itu semakin dini sebenarnya semakin baik sehingga menjadi kesempatan kita untuk menghambat penyakit ginjal ini menjadi gagal ginjal. Untuk itu diperlukan pemeriksaan, yaitu pemeriksaan darah dan urine, supaya tidak berlanjut menjadi gagal ginjal," ujar dr Pringgodigdo.
(kna/kna)











































