Pernyataan Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin soal ukuran celana 32 ke atas berisiko lebih cepat 'menghadap Allah' belakangan ramai diperbincangkan. Hal tersebut berkaitan dengan kondisi obesitas yang dikaitkan dengan risiko kematian dini lebih besar.
Menkes mengatakan konsumsi lemak berlebih dapat memicu timbunan lemak di antara organ perut. Adapun lemak yang dimaksud adalah visceral fat. Keberadaan lemak ini bisa sangat membahayakan kondisi kesehatan seseorang, terlebih banyak penyakit kronis yang berkaitan dengan obesitas.
Spesialis penyakit dalam dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, ikut menanggapi hal tersebut. Menurutnya, pernyataan yang menyebutkan ukuran celana pria 33-34 sebagai indikator langsung risiko kematian perlu disikapi dengan hati-hati.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dokter yang menjabat sebagai dekan FKUI itu mengatakan obesitas dan lingkar perut memang menunjukkan potensi risiko kesehatan, namun tak bisa dijadikan satu-satunya parameter untuk menilai risiko kematian seseorang. Adapun faktor risiko kematian yang berkaitan dengan penyakit kardiovaskular dan metabolik sangat multifaktorial.
"Jadi kalau bicara soal ini memang lingkaran perut, lingkarannya dimaksudnya lingkaran perut. Lingkaran perut ini memang menunjukkan kadar lemak yang lebih tinggi, tapi kadar lemak ini pun juga mesti dipastikan apakah memang, yang bersangkutan itu mempunyai kolesterol tinggi atau tidak," katanya saat dihubungi detikcom, Kamis (15/5/2025).
"Kalau seumpamanya kolesterol total itu di atas 150 kemudian LDL (low density lipoprotein) di atas 100, nah itu memang ada satu resiko. Hal yang lain misalnya kita bicara soal meninggal karena serangan jantung atau stroke misalnya, merokok, walaupun orang yang misalnya ukuran celana jeans itu kurang dari 33, tapi merokok, dia berisiko tinggi untuk terjadinya meninggal, karena dia merokok itu menjadi suatu faktor utama gitu," sambungnya lagi.
Prof Ari menambahkan, berbicara tentang risiko kematian harus didasarkan pada penilaian menyeluruh dan tidak boleh menggunakan indikator tunggal yang bisa menimbulkan kecemasan berlebihan di masyarakat.
Dirinya juga menekankan pentingnya edukasi yang seimbang dan akurat agar masyarakat tidak merasa takut tanpa alasan yang jelas, karena kecemasan sendiri bisa menjadi salah satu faktor yang memperburuk kondisi kesehatan.
"Jadi sekali lagi tidak bisa menyebut orang lebih mudah meninggal, resiko meninggal hanya dari satu sisi, jadi multifaktor. Bicara soal obesitas memang selain parameter lingkaran perut juga BMI body mass index itu mengambil dari berat badan tinggi badan. Berat badan dalam bentuk kilogram, tinggi badan dalam bentuk meter," tuturnya.
"Saat ini kalau kita lihat WHO memang menggunakan obesitas di atas 25, overweight 25, 30, kemudian obesitas 30, 35, nah itu parameter yang digunakan WHO. Kalau Asia Pasifik itu lebih rendah lagi ketentuannya," sambungnya lagi.
(suc/up)











































