Viral Pernikahan Dini di Lombok, Psikolog Soroti Dampak Mental pada Pengantin Anak

Viral Pernikahan Dini di Lombok, Psikolog Soroti Dampak Mental pada Pengantin Anak

Averus Kautsar - detikHealth
Rabu, 28 Mei 2025 08:31 WIB
Viral Pernikahan Dini di Lombok, Psikolog Soroti Dampak Mental pada Pengantin Anak
Pernikahan anak viral di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB). (IST)
Jakarta -

Pernikahan anak yang terjadi di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi sorotan berbagai pihak. Pernikahan di bawah umur antara SR (17) dan SMY (14) viral setelah videonya beredar di media sosial.

Pasangan pengantin di bawah umur tersebut dilaporkan sudah menikah secara adat, tanpa tercatat resmi secara sipil. Hal tersebut akhirnya dilaporkan oleh Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram ke Polres Lombok Tengah.

Berkaitan dengan hal tersebut, psikolog klinis Anastasia Sari Dewi menjelaskan ada banyak dampak psikologis yang bisa dialami anak ketika menjalani pernikahan dini. Salah satunya adalah munculnya banyak kebingungan dalam menjalani tugas rumah tangga.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Sari, anak-anak atau remaja secara psikologis cenderung belum bisa berpikir analitis. Mereka juga belum memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara logis, dan kepribadian yang belum terbentuk utuh.

Kondisi ini rentan memicu konflik dalam rumah tangga, jika dipaksakan terjadi.

ADVERTISEMENT

"Pertama itu adalah kebingungan dalam menyelesaikan konflik antar pasangan. Yang kedua adalah kebingungan dalam menentukan budaya yang akan digunakan dalam rumah tangga," kata Sari ketika dihubungi detikcom, Selasa (27/5/2025).

Pernikahan juga meningkatkan tekanan stres yang terlalu tinggi bagi anak. Tanggung jawab pernikahan secara ideal membutuhkan kemandirian psikologis, finansial, dan kemampuan menyelesaikan masalah.

Kemampuan-kemampuan tersebut umumnya belum dimiliki oleh anak-anak, sehingga intervensi orang tua dalam rumah tangga sangat mungkin terjadi. Situasi tersebut bisa memberatkan salah satu pihak.

"Komunikasi antar pasangan juga masih dinilai riskan untuk bisa menjalani rumah tangga karena masih banyak kebingungan tentang benar-salah, kemudian ada banyak dorongan-dorongan yang dipengaruhi oleh hormon tumbuh kembang mereka, sehingga kemampuan untuk berkomunikasi dengan tenang, kemampuan untuk berpikir secara kritis, logis, dan tenang itu juga kemungkinannya rendah," sambungnya.

Kondisi-kondisi tersebut menurut Sari berisiko jika akhirnya pasangan pengantin di bawah umur memiliki anak. Ini mempengaruhi mental dan bagaimana cara mereka dalam mengasuh, merawat, dan mendidik anak.

"Jadi akan timbul stres yang belum bisa mereka tangani pada usia tersebut," tandas Sari.




(avk/up)

Berita Terkait