Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI) kini menambahkan ketamin dalam daftar obat-obatan tertentu (OOT), dari semula 'hanya' tramadol, triheksifenidil, klorpromazin, amitriptilin, haloperidol, dekstrometorfan. Ketentuan tersebut tertuang dalam Peraturan BPOM Nomor 12 Tahun 2025.
Penggunaan ketamin menjadi modus baru dalam penyalahgunaan obat. Trennya meningkat secara nasional maupun global.
"Artinya tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara lain," tandas Kepala BPOM RI Prof Taruna Ikrar dalam keterangannya Selasa (3/6/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Prof Taruna menekankan ketamin selama ini digunakan secara legal dalam praktik medis sebagai anestesi dan analgesik, terutama dalam prosedur bedah. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, penyalahgunaan ketamin sebagai zat psikoaktif meningkat secara signifikan.
"Penyalahgunaan ketamin dapat menimbulkan efek halusinasi, disorientasi, dan dalam jangka panjang berpotensi menyebabkan gangguan neurologis dan psikologis yang serius. Oleh karena itu, pengaturan yang lebih ketat terhadap peredaran, penggunaan, serta pelaporan ketamin menjadi langkah strategis dalam pencegahan penyalahgunaan zat ini," bebernya dalam keterangan resmi, Selasa (3/6/2025).
Penyaluran ketamin ke fasilitas pelayanan kefarmasian meningkat pesat. Terlihat dari peredaran ketamin injeksi ke fasilitas pelayanan kefarmasian pada 2022 sebanyak 134 ribu vial, naik hingga 75 persen pada 2023 menjadi 235 ribu vial. Pada 2024 menjadi 440 ribu vial atau meningkat sebanyak 87 persen dibandingkan 2023.
Temuan BPOM juga menunjukkan 7 provinsi di Indonesia yang menjadi lokasi penyimpangan peredaran ketamin injeksi sepanjang 2024:
- Lampung
- Bali
- Jawa Timur
- Jawa Barat
- DI Yogyakarta
- Nusa Tenggara Barat
- Kalimantan Barat.
Provinsi Lampung mencatatkan angka penyimpangan tertinggi dengan 5.840 vial ketamin. Sementara itu, tiga provinsi lainnya yang juga menunjukkan angka tinggi adalah Bali dengan 4.074 vial, Jawa Timur sebanyak 3.338 vial, dan Jawa Barat dengan 1.865 vial.
Fasilitas pelayanan kefarmasian ditegaskan Taruna wajib mencatat secara rinci setiap transaksi obat termasuk identitas pasien, dosis, dan alasan penggunaan medis. Pengawasan internal juga harus diperkuat dengan kehadiran personil yang kompeten dalam proses penimbangan dan pengemasan ulang pada industri farmasi dan PBF, guna menjamin akuntabilitas dan mencegah kebocoran obat ke tangan yang tidak berwenang.
NEXT: Mekanisme pelaporan
Regulasi yang dapat diakses melalui jdih.pom.go.id ini juga mengatur mekanisme pelaporan kehilangan obat yang tergolong OOT. Jika terjadi kehilangan, industri atau fasilitas terkait wajib segera melaporkan kepada BPOM dan instansi berwenang lainnya dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Laporan harus disusun secara berkala untuk menjamin transparansi dan penelusuran distribusi obat. Ketentuan ini merupakan bentuk peningkatan pengawasan pasca distribusi yang belum diatur secara rinci dalam regulasi terdahulu.
Selain itu, pengelolaan risiko menjadi elemen penting dalam peraturan ini. industri farmasi dan PBF diwajibkan untuk menyusun dan menerapkan strategi manajemen risiko yang mencakup identifikasi titik rawan penyalahgunaan, penilaian potensi risiko, serta penyusunan rencana mitigasi yang relevan.
"Peraturan ini disusun berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta peningkatan kebutuhan akan pengawasan yang efektif terhadap produk OOT," ujar Taruna.
Simak Video "Video: Dampak Buruk Penyalahgunaan Ketamin"
[Gambas:Video 20detik]
(naf/up)











































