Hasil cek kesehatan gratis (CKG) menunjukkan risiko depresi pada ibu hamil bahkan mencapai delapan kali lipat lebih tinggi dibandingkan data yang ditemukan pada populasi umum dewasa dan lansia. Kecenderungan depresi dan kecemasan pada ibu hamil berada di 8,5 persen, sementara populasi dewasa dan lansia 'hanya' di 0,8 persen.
Angka tersebut sebetulnya bisa jadi lebih banyak dari yang tercatat, mengingat baru 40 juta orang yang mengikuti CKG, dari target 280 juta orang atau seluruh populasi Indonesia.
Dr dr Ray Wagiu Basrowi, pakar kedokteran komunitas yang banyak meneliti perilaku sosial, juga riset terkait kesehatan jiwa, ikut menyoroti temuan tersebut. Hal ini disebutnya menjadi alarm penting bagi kesehatan mental para ibu hamil.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
dr Ray menekankan laporan tersebut bukan hanya data statistik semata, melainkan penanda potensi dampak dalam skala besar di kemudian hari.
"Kenapa? Karena risiko depresi dan juga mungkin ansietas pada ibu hamil dampaknya akan dirasakan anak dan keluarga. Ada bukti penelitian epidemiologi skala besar di Canada yang menjadi referensi seluruh dunia, bahwa depresi ibu selama kehamilan berkaitan dengan parenting yang 'hostile' (agresif atau penuh kritik), yang selanjutnya memicu peningkatan simptom internalisasi pada anak," tuturnya kepada detikcom Kamis (9/10/2025).
Hal ini disebutnya membuat anak tidak memiliki kemampuan mengambil keputusan secara objektif, tidak bisa bertanggung jawab bahkan memiliki perilaku agresif sejak dini.
dr Ray mengingatkan kemungkinan tersebut bisa terjadi pada jutaan anak Indonesia dari hasil temuan ibu hamil yang delapan kali lebih berisiko mengalami depresi.
"Jadi bila data ini sudah diverifikasi dan validitasnya tinggi, maka pemerintah dan segenap elemen bangsa harus mengambil langkah yang serius. Secara ilmiah, kondisi ini dapat dicegah dan ditangani dengan langkah-langkah yang sangat jelas," saran dia.
Beberapa hal yang bisa dilakukan sebagai langkah pencegahan awal adalah setiap puskesmas dan posyandu menyediakan kuesioner EPDS atau PHQ-9 atau kuesioner lain yang sudah terintegrasi dengan sistem satu sehat pada ibu hamil di setiap kunjungan.
Data tersebut harus terintegrasi lantaran hasil skrining perlu ditindak lebih lanjut.
Bila hasil diagnosis menunjukkan risiko sedang-berat, ibu hamil diharapkan dengan mudah mendapatkan akses ke psikolog klinis atau psikiater. dr Ray menyayangkan banyak bumil yang terindikasi positif mengalami gangguan kesehatan jiwa, tidak ditindaklanjuti lantaran proses alur skrining sampai diagnosis dan mendapatkan pengobatan seringkali tidak jelas.
Mengutip salah satu risetnya di Health Collaborative Center (HCC), ada banyak faktor yang melatarbelakangi ibu hamil rentan depresi dan kecemasan. Kelelahan atau fatigue pada ibu hamil sering menjadi akar masalah.
Bahkan 6 dari 10 ibu menyusui tidak bahagia karena tidak akan dukungan keluarga.
"Dan ini adalah faktor penting yang terbukti meningkatkan risiko ansietas dan depresi. Artinya, penanganan depresi pada ibu hamil dan juga ibu menyusui tidak cukup hanya dengan terapi psikologis, tapi juga perlu dukungan gizi, perlindungan sosial, dan lingkungan yang aman," pungkas dia.
Simak juga Video: Kemenkes Ungkap Masalah Kesehatan Tertinggi dari Hasil CKG











































