Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI Taruna Ikrar mengatakan ingin melihat Indonesia menjadi raja potensi herbal di dunia. Hal ini disampaikannya dalam acara Annual Meeting World Health Organization-International Regulatory Cooperation of Herbal Medicine (WHO-IRCH) ke-16 di Jakarta Selatan, Selasa (14/10/2025).
Taruna menuturkan Indonesia sebenarnya memiliki banyak potensi herbal yang belum dieksplorasi. Ia menuturkan Indonesia memiliki setidaknya 30 ribu jenis tumbuhan dengan 9.600 di antaranya diketahui memiliki khasiat obat dan menjadi bahan utama jamu.
Meski potensinya besar, hingga saat ini baru sebanyak 18 ribu herbal yang telah terdaftar. Pihaknya juga mencatat baru ada 71 herbal yang menjadi obat herbal terstandar (OHT) dan 20 herbal yang menjadi fitofarmaka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dari herbal terstandar ini, nanti bisa berpotensi menjadi obat. Kita tahu kan bahan baku kita masih 94 persen (dari impor). Ini semua bisa dikembangkan," kata Taruna ketika ditemui awak media.
Menurut Taruna, pertemuan WHO-IRCH ini bisa menjadi momen strategis untuk Indonesia memainkan peran sentral dalam produk herbal, termasuk memperkenalkan jamu Indonesia ke mata dunia.
Khusus untuk pengembangan herbal di Indonesia, BPOM telah menetapkan strategi Academic, Business, dan Government (ABG) untuk memperkuat penelitian serta pengembangan herbal.
"Kami (BPOM) menyediakan regulasi dan pedoman untuk memastikan kepatuhan terhadap keamanan, khasiat, dan mutu. BPOM juga terus mendorong integrasi obat tradisional ke dalam sistem kesehatan nasional," sambungnya.
Ia lantas mencontohkan dua jenis herbal dari Indonesia yang banyak dimanfaatkan untuk obat, yaitu kunyit dan batang kina. Batang kina umumnya diproses menjadi obat malaria, sedangkan kunyit dikenal dengan kandungan kurkumin yang berguna sebagai antioksidan, antiinflamasi, hingga potensi anti-kanker.
Namun, sayangnya kedua jenis herbal ini tidak diproses dengan baik di Indonesia. Pada batang kina misalnya, herbal ini seringkali dikirim dulu ke Eropa untuk diproduksi menjadi obat, lalu dikirim kembali ke Indonesia. Akhirnya, harganya bisa naik berkali-kali lipat.
"Nah, selama ini batang-batang kina itu kita kirim dulu ke Jerman, ke Eropa, atau ke Belanda. Bahan bakunya terus selesai itu dikirim kembali, jadi harganya bisa ribuan kali lipat. Nah, kalau kita bisa kelola sendiri di sini, kita mampu dari sumber alam ini, saya yakin secara bertahap potensi ketergantungan (obat dari luar negeri) itu semakin bisa dikurangi," kata Taruna.
Pertemuan ini memiliki dua tujuan utama. Pertama, meninjau dan melaporkan kemajuan kegiatan WHO-IRCH, berdasarkan hasil pertemuan terakhir di Istanbul pada 2024 lalu. Kedua, melibatkan sebanyak mungkin stakeholders dalam workshop yang berfokus pada regulasi, keamanan, khasiat, dan mutu pada herbal.
"Saya kira sangat luar biasa pertemuan hari ini yang dihadiri oleh puluhan negara. Ini berarti Indonesia menjadi rujukan. Jangan hanya Korea yang punya ginsengnya dan China, tapi Indonesia harus tumbuh menjadi potensi besar bahwa Indonesia lebih kaya dari mereka itu," kata Taruna.
"Indonesia punya potensi besar merajai dunia untuk herbal medicine. Bukan hanya raja di negeri sendiri, tapi merajai dunia," tandasnya.
(avk/naf)











































