Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyoroti rapor Indonesia terkait capaian universal health coverage (UHC) yang dirilis organisasi kesehatan dunia (WHO). Dalam laporan 2023, skor UHC Indonesia tercatat 57 dari 100, sementara peringkatnya berada di nomor 66 dari sekitar 100 negara yang dinilai.
"Itu artinya kita masih masuk kategori agak di bawah rata-rata," kata Budi di konferensi pers bersama BPJS Kesehatan, Jumat (12/12/2025).
Ia menyebut temuan itu membuatnya kembali memeriksa definisi UHC yang digunakan WHO dan menemukan letak persoalannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya quote supaya tidak salah. UHC itu all people have access to the full range of quality health services when and where they need them without financial hardship," ujar Budi.
"Artinya ada tiga komponen: everywhere, everyone, every time. Harus ada akses, harus ada kualitas, dan harus tanpa beban finansial."
Menurut Budi, tiga komponen itu harus berjalan bersamaan. BPJS Kesehatan bertanggung jawab pada aspek pembiayaan atau without financial hardship, sedangkan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan wajib memastikan akses serta kualitas layanan tersedia di seluruh wilayah.
"Kalau tanpa tiga itu, UHC-nya doesn't mean anything. Itu tidak tercapai," tegasnya.
Punya Kartu BPJS Tapi Tak Bisa Ikut Layanan
Budi mencontohkan situasi yang kerap terjadi di lapangan. Banyak warga sudah memegang kartu JKN, tetapi ketika sakit, fasilitas untuk penanganan tidak tersedia.
"Dia punya kartu, dia sakit jantung, dia wafat. Karena kartunya tidak memberikan akses, karena fasilitasnya tidak tersedia," ujarnya.
"Atau ada cath lab, tapi cath lab-nya tidak bisa beroperasi. Mutunya tidak ada. Itu sebabnya UHC kita masih di bawah rata-rata dunia."
Perbaikan layanan kesehatan jadi prioritas
Ia menegaskan, perbaikan akses dan mutu layanan kesehatan adalah pekerjaan rumah besar pemerintah. Namun ia menyebut ada perkembangan positif pada laporan WHO tahun 2025.
"Kayaknya naik. Skor kita dari 57 ke 66. Sudah sedikit di atas average country. Tapi negara-negara ASEAN banyak yang masih di atas kita."
Budi menilai perlu ada kejelasan peran agar perbaikan UHC lebih cepat tercapai. Selama ini, kata dia, masih terjadi kerancuan antara penentu regulasi dan pelaksana.
"Pemerintah itu pembuat regulasi untuk kesehatan. BPJS itu pelaksana regulasi di bidang pembiayaan," jelasnya.
"Ada pelaksana regulasi di sektor farmasi, ada di primer, ada di sekunder. Nah BPJS itu pelaksana di pembiayaan. Pencipta regulasi tetap di Kemenkes."
Ia menyebut pihaknya kini tengah merapikan tata kelola tersebut. "Agar jelas, ini pelaksana siapa, pembuat aturan siapa. Kalau tidak jelas, hasilnya ya jelek seperti sekarang."











































