Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional 2025 menjadi momentum untuk meneguhkan komitmen inklusi sosial bagi penyandang disabilitas. Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) 2025 yang mengusung tema "Solidaritas Tanpa Batas Menuju Indonesia Emas 2045" bukan sekadar peringatan seremonial. Ia adalah panggilan moral bagi bangsa untuk meneguhkan solidaritas, terutama terhadap kelompok yang kerap terpinggirkan: penyandang disabilitas mental, salah satunya adalah Orang Dengan Skizofrenia (ODS).
Skizofrenia adalah gangguan jiwa berat yang memengaruhi cara seseorang berpikir, merasakan, dan berperilaku. Kondisi ini ditandai oleh kesulitan membedakan antara kenyataan dan pikiran, sehingga sering muncul gejala seperti halusinasi, delusi, pikiran yang kacau, serta penarikan diri dari lingkungan sosial.
Realitas yang Tak Bisa Diabaikan
Data Kementerian Sosial menunjukkan lebih dari 22 juta jiwa di Indonesia hidup dengan berbagai bentuk disabilitas. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan wajah nyata dari saudara-saudara kita yang masih berjuang mendapatkan akses setara dalam pendidikan, pekerjaan, kesehatan, dan ruang publik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut World Health Organization (WHO), sekitar 16 persen populasi dunia atau lebih dari 1,3 miliar orang hidup dengan disabilitas. WHO menekankan bahwa disabilitas adalah bagian dari kondisi manusia, bukan sekadar masalah medis. Hal ini menegaskan bahwa inklusi sosial harus menjadi agenda global, termasuk di Indonesia.
Data DTSEN 2025 mencatat sekitar 14,7 juta jiwa atau 5,22 persen penduduk Indonesia adalah penyandang disabilitas. Tingkat kemiskinan mereka mencapai 13,81 persen, lebih tinggi dari rata-rata nasional. Dari jumlah tersebut, lebih dari 5,2 juta jiwa mengalami depresi atau gangguan mental, dan prevalensi rumah tangga dengan anggota yang mengalami psikosis/skizofrenia mencapai 3-4 permil. Ironisnya, 6,6 persen di antaranya pernah mengalami pemasungan.
Tantangan yang Masih Menganga
Meski regulasi sudah ada-seperti UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas-implementasi di lapangan masih jauh dari harapan. Infrastruktur publik belum sepenuhnya ramah disabilitas, stigma sosial masih kuat, dan kesempatan kerja terbatas. Lebih ironis lagi, data terpadu yang seharusnya menjadi dasar kebijakan inklusif belum terbangun dengan baik.
Seperti ditegaskan oleh ILO (International Labour Organization), penyandang disabilitas menghadapi tingkat pengangguran yang lebih tinggi dan sering kali ditempatkan di sektor informal dengan perlindungan minim. Ini menunjukkan bahwa tantangan Indonesia adalah bagian dari masalah global.
Masalah terbesar yang dihadapi ODS bukan hanya penyakitnya, tetapi juga lingkungan sekitar:
- Stigma membuat mereka dianggap "tidak normal" dan dijauhkan dari masyarakat.
- Layanan kesehatan jiwa terbatas, terutama di desa dan daerah terpencil.
- Keluarga menanggung beban besar, baik secara ekonomi maupun emosional, tanpa dukungan memadai.
- Kesempatan kerja hampir tertutup, karena banyak perusahaan masih ragu menerima ODS.
Apa yang Sudah Dilakukan?
Pemerintah sebenarnya sudah punya aturan, seperti UU Penyandang Disabilitas dan UU Kesehatan, serta program inklusi di puskesmas. Ada juga rencana aksi nasional yang menekankan pentingnya pendataan, pendidikan inklusif, dan pemberdayaan ekonomi. Namun, semua ini masih perlu diperkuat agar benar-benar terasa di lapangan. Pemerintah bersama masyarakat sipil telah menyalurkan bantuan sosial dan mendorong pendidikan inklusif. Namun, langkah ini masih bersifat parsial. Kesetiakawanan sosial menuntut lebih dari sekadar bantuan; ia menuntut perubahan sistemik yang menjadikan inklusi sebagai norma, bukan pengecualian.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
- Mengubah cara pandang: Skizofrenia bukan aib, melainkan kondisi medis yang bisa ditangani.
- Mendukung keluarga: Memberikan ruang, bantuan, dan empati agar mereka tidak merasa sendirian.
- Mendorong layanan kesehatan jiwa: Puskesmas harus jadi garda terdepan, bukan sekadar tempat berobat fisik.
- Membuka peluang kerja: Dunia usaha perlu lebih berani dan inklusif.
Solidaritas Tanpa Batas
Kesetiakawanan sosial sejati bukan hanya tentang berbagi, tetapi tentang memastikan setiap warga negara memiliki ruang yang setara untuk tumbuh dan berkontribusi. Penanganan disabilitas adalah ujian nyata solidaritas bangsa. Seperti kata Ban Ki-moon, mantan Sekjen PBB: "Disability is not inability. It is society that disables people when it fails to provide equal opportunities." Kutipan ini mengingatkan kita bahwa solidaritas bukan sekadar empati, melainkan tanggung jawab untuk menciptakan kesempatan yang setara.
Dengan menjadikan inklusi sebagai norma, bukan pengecualian, Indonesia tidak hanya merayakan HKSN 2025, tetapi juga meneguhkan dirinya sebagai bangsa yang beradab, berkeadilan, dan siap menuju Indonesia Emas 2045. Tema Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional 2025, "Solidaritas Tanpa Batas Menuju Indonesia Emas 2045", mengingatkan kita bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang merangkul semua warganya. Orang dengan skizofrenia bukan beban, melainkan bagian dari masyarakat yang punya hak untuk hidup layak, sehat, dan berdaya.
Ditulis oleh: dr Imran Pambudi, MPHM - Direktur Pelayanan Kesehatan Kelompok Rentan, Kementerian Kesehatan
Simak Video "Video: PDSKJI Sebut Daya Kognitif Lemah Buat Perilaku Remaja Makin Agresif"
[Gambas:Video 20detik]
(up/up)











































