Apalagi, kala itu ia melahirkan di kampung halamannya dan kebetulan, fasilitas kesehatan tempat ia melahirkan tidak terlalu pro ASI. Sehingga, sang anak sudah lebih dulu diberi susu formula saat lahir.
"Nah terus karena kita nggak punya ilmunya, walau udah baca, tetap praktiknya kayak posisi pelekatan, itu susah banget. Belum lagi pengaruh keluarga kadang ngelihat bayi nangis, nyuruh kasih formula. Itu kan annoying ya," tutur dr Hikmah ketika berbincang dengan detikHealth.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Makin lama makin cinta (dengan hal-hal seputar menyusui dan ASI-red), sampai saya jadi konselor laktasi di tahun 2009 dan gabung sama Sentra Laktasi Indonesia (Selasi)," katanya.
Selama menjadi konselor laktasi, dr Hikmah mengatakan pengalaman yang amat membekas di benaknya yakni ketika melakukan home visit. Dalam layanan itu, dr Hikmah mendatangi para ibu yang memiliki masalah menyusui tetapi tidak bisa keluar rumah karena kondisinya masih belum pulih.
"Kita sebagai konselor kan mempelajari, nungguin, dengar curhat segala macam dari si ibu. Hasilnya, dari ibu yang nggak bisa menyusui jadi bisa menyusui. Saya kadang baru sadar datang ke rumah ibu itu masih terang (siang-red) terus pulangnya udah gelap, jadi sampai seharian," kata dr Hikmah.
Kepuasan ketika melihat ibu yang awalnya tidak bisa menyusui tapi kemudian bisa memberi ASI untuk bayinya, dikatakan dr Hikmah tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Selama menjadi konselor ASI, masalah pelekatan, kurang dukungan, dan kurang percaya diri sering menjadi terhambatnya proses ibu memberi ASI.
"Sudah kurang pede, nggak ada dukungan, nggak ada ilmu, ibaratnya itu satu paket. Ibu down, nggak didukung, makin nggak pedelah dia menyusui," pungkas dr Hikmah.
Baca juga: dr Utami Roesli, Pejuang ASI yang Pernah Gagal Menyusui (rdn/vit)











































