Kupang - Ditengah percepatan pembangunan infrastruktur, Indonesia juga masih bergelut dengan stunting. Angka terbesar stunting ada di Nusa Tenggara Timur. Ini potretnya.
Picture Story of The Week
Potret Anak Indonesia Berjuang Lepas dari Belenggu Stunting
Pemenuhan gizi pada anak harus dicukupi baik sejak dalam kandungan hingga usia 2 tahun. Sebab jika tidak akan menimbulkan masalah kesehatan di masa depannya.
Salah satu gangguan kesehatan yang berdampak pada bayi adalah stunting atau tubuh pendek akibat kurang gizi kronik.
Stunting bukan berarti gizi buruk yang ditandai dengan kondisi tubuh anak begitu kurus, sebab anak yang mengalami stunting cenderung memiliki sistem metabolisme tubuh yang tidak optimal.
Sejumlah balita mengikuti pemeriksaan pencegahan dan penanganan balita Bawah Garis Merah (BGM) di Kelurahan Naibonat, Kupang, NTT. Pada awal Desember 2021 diketahui sebanyak 6.674 atau 22,3 persen balita di Kabupaten Kupang mengalami masalah gizi atau stunting.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan tahun 2018 prevalensi stunting di NTT masih tertinggi di Indonesia yaitu 42,6 persen namun saat ini angkanya turun menjadi 20,9 persen. Angka tersebut masih tinggi dan butuh terus bekerja kolaboratif bersama untuk terus mengurangi angka stunting.
Gizi buruk telah menjadi masalah global termasuk di Indonesia, dan angka terbesar di RI berada pada wilayah Nusa Tenggara Timur. Wilayahnya yang sangat luas disertai lokasi yang berbukit membuat warga hidup terpencar dan berada didalam rata-rata garis kemiskinan.
Kesulitan sumber air juga menjadi salah satu kendala yang dihadapi di Kabupaten di Kupang ini. Warga harus mengebor tanah 60 hingga 100 meter untuk mendapatkan sumber air yang bagus dan jernih guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Wilayah yang sangat jauh juga membuat para orang tua kesulitan mengakses kesehatan ke Puskesmas, seperti contohnya warga Bokong harus berjalan kaki dulu selama 1 hingga 2 jam untuk tiba di Puskesmas.
Tak sedikit dari anak-anak yang berada di wilayah NTT ini mengalami Stunting. Seperti keluarga ini yang memiliki empat anak di desa Naibonat dan keempat anaknya harus mengalami stunting.
Meski begitu, desa ini terus memberikan pendampingan terhadap orang tua. Setiap bulannya anak-anak di desa ini rutin ditimbang, pengukuran lingkar lengan, tinggi badan, hingga pemeriksaan kesehatan. Dari angka 20 persen tersebut terdapat ribuan anak yang menderita stunting di NTT. Angka itu tentu terbilang sangat tinggi dan yang lebih membuat miris adalah anak-anak itu merupakan generasi penerus bangsa.
Pemerintah setempat juga terus membuka kemungkinan berbagai pihak dan relawan untuk bersama-sama memerangi stunting di wilayah timur Indonesia guna mempercepat dalam menangani stunting di Kupang NTT.
Penelitian di berbagai negara berkembang menyatakan stunting memiliki banyak dampak yang buruk pada masa depan anak-anak.
Mereka yang stunting cenderung memiliki capaian pendidikan yang lebih rendah, pendapatan yang lebih rendah dan kemungkinan untuk jatuh dalam kubangan kemiskinan menjadi lebih besar.
Karena tinggi badannya yang cenderung lebih rendah, maka anak-anak yang stunting memiliki faktor risiko berat badan berlebih atau obesitas dan penyakit kronis lainnya ketika dewasa kelak. Perempuan yang stunting juga dapat mengakibatkan kelahiran bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan komplikasi persalinan.
Bank Dunia mencatat kurangnya tinggi anak 1% secara nasional berkorelasi dengan penurunan produktivitas ekonomi 1,4% di negara berkembang di Asia dan Afrika.
Dan Indonesia masih menghadapi permasalahan akut kekurangan gizi di kalangan anak-anak di bawah lima tahun.
Hingga kini, Indonesia masih berada di level posisi tersebut, khususnya di wilayah Timur Indonesia yang berada jauh dari jangkauan pusat pemerintahan. Akankah Indonesia berhasil menurunkan angka stunting dan menyelamatkan generasi penerus bangsa? atau justru malah sebaliknya.











































