Jakarta - Terapi cuci otak Digital Substraction Angiography (DSA) kembali jadi kontroversi. Meski sudah diteliti sebagai disertasi S3, terapi ini belum pernah uji klinis.
Foto Health
Intip Lagi Lab 'Cuci Otak' Terawan di RSPAD yang Kontroversial

Prof Rianto Setiabudi dari MKEK IDI menuding ada cacat dalam desain riset disertasi tentang terapi ini. Foto: Widiya Wiyanti/detikHealth
Ada beberapa kelemahan dalam disertasi yang dinilainya substansial. Karenanya, tidak bisa menggantikan uji klinis. Foto: Widiya Wiyanti/detikHealth
Kelemahan pertama adalah penggunaan heparin. Seharusnya, heparin dalam dosis kecil digunakan untuk menjaga ujung kateter tetap terbuka. Foto: Widiya Wiyanti/detikHealth
Dalam terapi 'cuci otak' Terawan, heparin difungsikan untuk merontokkan gumpalan darah pemicu stroke. Foto: Widiya Wiyanti/detikHealth
"Bekuan darah itu sudah mengeras di situ dan tidak mungkin kita cari di literatur manapun bahwa heparin efektif merontokkan, melarutkan bekuan darah seperti itu," jelas Prof Rianto. Foto: Widiya Wiyanti/detikHealth
Kelemahan berikutnya adalah tidak ada kelompok pembanding atau kelompok kontrol. Tanpa ada kelompok kontrol, kesahihan riset tidak bisa dibuktikan. Foto: Widiya Wiyanti/detikHealth
Lalu kenapa Universitas Hassanudin meloloskan disertasi ini? Prof Riyanto menuding ada tekanan tertentu kepada Unhas. Foto: Widiya Wiyanti/detikHealth
Promotor riset Terawan di Unhas, Prof Irawan Yusuf, pada 2018 menyebut riset Terawan tentang DSA sudah memenuhi standar penelitian untuk S3. Namun untuk diterapkan pada pasien, masih harus melalui uji klinis. Foto: Widiya Wiyanti/detikHealth