Jakarta - Anak down syndrome memiliki keterbatasan secara fisik dan mental. Meski begitu, mereka juga punya hak untuk setara mendapatkan pendidikan hingga kesehatannya.
Picture Story
Secercah Harapan Anak-anak Down Sindrom di Tengah Keterbatasan
Anak dengan kondisi down syndrome menjalani pelatihan di Rumah Ceria Down Syndrome (RCDS) di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan. Disinilah mereka mendapatkan pelatihan inklusi untuk mengasah kemampuannya masing-masing.
Down syndrome adalah suatu bentuk kelainan kromosom yang berdampak pada keterlambatan pertumbuhan fisik dan mental anak. Secara fisik, penyandang down syndrome memiliki wajah khas dan identik, yakni: mata sipit mengarah ke atas, jarak yang jauh antara kedua mata, serta tidak memiliki tulang hidung.
Down syndrome bukan penyakit menular dan tidak dapat disembuhkan. Belum ditemukan penyebab down syndrome secara pasti di dunia kedokteran.
Foto: Andhika Prasetia
Karenanya, Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome (POTADS) mendirikan RCDS untuk memberdayakan anak-anak mereka. Hampir setiap harinya RCDS memberdayakan anak down syndrome.
Anak down syndrome berhak memperoleh ilmu yang sama dengan anak lainnya. Mereka dilatih keterampilan seperti bermain angklung, kelas barista, belajar seni rupa, sampai karate.
Mendidik anak down syndrome perlu ketekunan dan kesabaran karena suasana hati mereka suka berubah atau moody. Mereka juga bisa berinteraksi walau dengan cara mereka sendiri. Senyuman mereka tulus tanpa dibuat-buat.
Berkat ketekunan serta dukungan dari lingkungan, mereka bisa menghasilkan karya. Seperti Bagas yang pernah menunjukkan hasil karya lukisannya.
Anak down syndrome juga mulai diberdayakan di tempat kerja, seperti di Kopi Kamu, Jakarta Selatan. Anak-anak terjun langsung melayani pelanggan setiap hari Selasa dan Kamis.
Diakui, melatih barista anak down syndrome perlu dilakukan berkali-kali. Muhammad Ikhlas Dwi Kurnia (21) piawai meracik berbagai jenis kopi dan minuman dingin lainnya usai berlatih selama 3 tahun.
Memiliki anak yang terlahir spesial atau dengan kebutuhan khusus bukanlah hal yang mudah. Tak sedikit orang tua yang merasa kecewa, malu, bahkan tidak mau mengakui keberadaan anaknya yang berbeda dengan kebanyakan anak normal lainnya.
Mereka juga makhluk Tuhan, sama seperti anak lainnya. Perlakukan mereka seperti anak biasa: sapa, ajak jabat tangan, ajak bicara walau mereka terkadang malu. Penerimaan yang baik di masyarakat dapat membuat mereka merasa lebih berarti.
Di sinilah letak ujian yang diberikan Tuhan untuk orang tua. Lina, dengan kesabarannya merawat Vanessa (16) dan mengantarkan anaknya mengembangkan kemampuan dirinya. Dari lingkungan sekunder, anak down syndrome perlahan mulai mendapatkan respons positif dari masyarakat.











































