Beberapa kertas itu bergambar bunga, sementara lainnya bergambar rumah serta pohon berlatar gunung berwarna biru. Di depannya, terlihat lima anak duduk berjajar di atas lantai berlapis karpet. Mereka terlihat sangat berkonsentrasi menggoreskan imajinasi ke dalam media gambar yang terletak di atas meja kayu lipat itu.
Hari itu adalah pelajaran menggambar yang diadakan oleh Sekolahku, fasilitas pendidikan bagi anak-anak penderita kanker. Tempat itu merupakan bagian dari rumah singgah yang diinisiasi oleh Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia (YKAKI).
Ira Soelistyo sang penggagas yayasan mengatakan bahwa sekolah merupakan elemen penting yang tidak boleh hilang dari anak-anak walaupun mereka hidup sebagai pengidap kanker. Sebab, menurutnya pendidikan merupakan hak anak yang harus dipenuhi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Anak penderita kanker itu adalah anak yang sakit kanker. Sebetulnya, semuanya normal. Jadi bukan anak yang memiliki disabilitas, bukan anak-anak kebutuhan khusus bukan. Mereka anak-anak normal yang kebetulan lagi sakit kanker," katanya dalam program Sosok detikcom Minggu, (5/3).
Sekolahku pada dasarnya mengajarkan berbagai ilmu sesuai dengan kurikulum Indonesia. Namun ada tambahan lebih dari itu. Ira mengatakan, mereka juga mendorong agar para murid dapat memiliki life skill yang cukup agar bisa bertahan tanpa terlalu bergantung dengan orang lain. Maka, Ira pun mengatakan bahwa YKAKI tidak sembarangan merekrut pengajar. Mereka mendatangkan tenaga ahli yang telah mengenyam pendidikan keguruan untuk mendampingi serta mendidik anak-anaknya.
Ternyata, niat baik Ira tidak berjalan mulus. Berbagai cibiran pun sempat ditelannya. "Emang kamu siapa? Yang ngajarin siapa? Emang terdaftar sekolah itu di Kemendikbud?" kata Ira sambil menirukan suara-suara sumbang yang sering ia temui.
Izin mendirikan sekolah memang sulit diperoleh di negara ini. Ira mengatakan, butuh waktu 13 tahun hingga akhirnya pihak kementerian terkait bisa menerbitkan surat izin penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar.
"Lama, gak mudah. Karena persyaratan untuk mendirikan sekolah itu kita selalu terbentur sama undang-undang dan aturan. Kalau untuk sekolah harus begini, punya Gedung sekolah, sekolah harus punya ini, gurunya harus ada berapa, blabla. Kan kita nggak mau bikin sekolah, kita kan hanya mau mengisi dan mereka paham dan mengerti," tuturnya.
Sekolahku tidak berbatas oleh ruang dan waktu. Ira mengatakan, semua tenaga didik harus memiliki dedikasi tinggi guna mendorong anak-anak murid tetap belajar sesuai dengan kondisi fisiknya.
Tidak dipungkiri, kondisi kesehatan para murid memaksa mereka harus membuat mereka menjalani pengobatan khusus seperti kemoterapi. Akibatnya, anak-anak itu tidak bisa datang ke sekolah untuk mengikuti kegiatan belajar bersama.
"Kalau anak-anak yang harus ditempat tidur nggak boleh turun, guru yang datang ke tempat dia, tetap semua belajar," aku Ira.
Ia mengatakan, sekolah bukanlah beban bagi para murid Sekolahku. Sebaliknya, belajar bersama merupakan kegiatan yang ditunggu-tunggu oleh para murid. Maka, Ira pun menggunakan kesempatan ini untuk memenuhi kebutuhan serta hak anak dalam memperoleh pendidikan setara.
"Ketusuk jarum, pokoknya kemoterapi itu kan semacam bikin orang bete kalau dia dapat hal yang lain. Tapi dengan sekolah dia rasanya bisa berkembang, bisa tanya ini tanya itu. Di Sekolahnya ada peta atau globe gitu gede, dia bisa tanya ini dimana. Pokoknya segala macam informasi dan perpustakaannya juga banyak," pungkas Ira.
(vys/vys)










































