"Memarahi anak akan membuatnya tertekan dan semakin berontak kepada orang tua," papar psikolog tumbuh kembang anak Ratih Ibrahim pada acara Konferensi Pers Peluncuran Dulux EasyClean dengan KidProof Technology di Mal Kota Kasablanka, Jl Raya Casablanca, Jakarta Selatan, Rabu (19/3/2014).
Tak hanya itu, jika anak terlalu sering dimarahi, mereka tidak akan bisa dengan bebas mengekspresikan dirinya. Sehingga ketika dewasa kelak, kreativitas mereka pun terbatas. Untuk itu, Ratih menyarankan pada orang tua agar tidak memarahi anaknya namun dengan lebih dahulu membuat perjanjian dan konsisten melaksanakannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah membuat perjanjian, hal pertama yang harus ditanamkan pada anak adalah perjanjian tersebut berlaku dan ada konsekuensi yang harus dilakukan jika melanggarnya. Menurut Ratih, yang harus menjadi perhatian adalah banyak orang tua yang tidak tegas ketika melaksanakan perjanjian dengan anak tersebut.
Perbuatan tidak tegas tersebut dapat terlontar dari kata-kata 'aduuh kan sudah mama bilang itu nggak boleh' dengan nada yang lembek atau seperti memelas. Hal itu tidak akan efektif karena anak akan tahu bahwa orang tua hanya memberikan pernyataan kosong.
Ratih menjelaskan bahwa balita punya kebiasaan mengamati orang tuanya. Jika dirasa orang tuanya hanya menggertak, tentunya anak akan terus melakukan hal tersebut berulang kali. Hal inilah yang seringkali membuat orang tua menjadi marah.
"Yang tepat adalah mengingatkan anak bahwa sudah ada perjanjian yang melarangnya melakukan hal tersebut, dan harus dikatakan dengan nada tegas. Seperti 'Kita kan sudah buat perjanjian. Mama sudah bilang itu tidak boleh dan kamu setuju'. Perkataan yang seperti itu yang lebih masuk ke anak," pungkas psikolog berkacamata tersebut.
(vit/vit)











































