Untuk mengatasi dan mengetahui trauma yang dirasakan anak, salah satu cara yang dapat digunakan yakni art theraphy. Mutia Ribowo SDs, MA, art therapist dari Art-i menuturkan art therapy sangat bermanfaat untuk mengetahui dan mengatasi trauma khususnya pada anak yang belum bisa bicara verbal.
"Dengan art dia bisa mengekspresikan perasaan atau apa yang dia alami lewat menggambar, mewarnai, atau bahkan menggunting. Apalagi, anak cenderung susah menceritakan traumanya terutama akibat kekerasan fisik atau kekerasan seksual," tutur Mutia usai Press Conference HiLo School Drawing Competition di Locanda Resto, Jl Jend Sudirman, Jakarta, Selasa (16/6/2015).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Pola Asuh yang Salah Penentu Risiko Bullying pada Anak
Art therapist, lanjut Mutia, membaca kecenderungan anak apakah ia mengalami gejala trauma, contohnya saja ketika anak mengalami sexual abuse. Caranya, dengan memperhatikan gambar yang dibuat anak apakah mengandung faktor sexual abuse. Atau, warna yang digunakan anak saat menggambar mengarah pada kondisi trauma.
"Menghilangkan trauma ada tahapannya. Lewat art kita tinjau dulu apa yang membuat anak ini trauma, lalu di situ kita mulai lakukan pendekatan kemudian kita tangani supaya trauma anak ini perlahan hilang. Kalau penyebab traumanya misal ayah atau ibu, ya satu keluarga harus diterapi," kata Mutia.
Sesi art therapy yang dilakukan untuk mengatasi trauma pada anak tergantung pada anak. Jika sejak awal dia sudah terbuka, terapi dibutuhkan setidaknya 5 kali. Satu sesi terapi memakan waktu 1 jam. Untuk sesi grup 2-5 orang, sesi terapi bisa berlangsung sampai 2 jam. Sedangkan, untuk penghapusan trauma dikatakan Mutia tergantung dari besar dan lamanya trauma.
Jika trauma baru saja terjadi, maka waktu pemulihan dengan art therapy bisa lebih cepat. Dalam keseharian, Mutia menekankan pentingnya orang tua untuk memberi perhatian pada gambar-gambar yang dibuat anak. Jika dirasa gambar tidak wajar, maka bisa jadi indikasi si anak sedang menghadapi sesuatu yang negatif.
"Kalau anak terlalu sering menggambar dengan adanya unsur negatif seperti kekerasan atau cerita sedih, harus ditilik lagi. Begitu juga kalau anak terlalu sering gambar yang horor-horo atau pembunuhan misalnya, perlu dilihat apa karena pengaruh dia habis nonton film aja atau gimana. Kalau gambar anak have fun aja dan nggak bermasalah perlu dilihat lagi perilakunya. Kalau negatif, anak kurang bisa sosialisasi, patut dicurigai apakan gambar itu cuma sebagai mekanisme menutupi apa yang dirasakan anak aja," papar Mutia.
Baca juga: Jangan Dikasari, Trauma pada Anak dengan Autisme Bisa Bertahan Lama
(rdn/vit)











































