Dituturkan psikolog klinis dan psikoterapi, Henny Wirawan, perempuan yang berisiko mengalami pseudosiesis biasanya memiliki usia dengan risiko tinggi untuk hamil, yakni di akhir 30-an atau di awal 40-an dan belum atau sulit memiliki anak. Akan lebih mungkin terjadi jika yang bersangkutan pernah mengalami keguguran, apalagi secara berulang, pada kehamilan sebelumnya.
"Bisa juga terjadi pada perempuan yang ingin mempunyai anak lagi (jadi ada anak yang sudah pernah dilahirkannya) tetapi tidak kunjung hamil kembali, dan akan makin parah jika di lingkungannya ada perempuan yang sedang hamil," jelas Henny dalam perbincangan dengan detikHealth dan ditulis pada Senin (19/1/2015).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Perlu diperhatikan, bahwa mereka yang mengalami pseudosiesis adalah mereka yang tidak sekadar menginginkan kehadiran anak, tetapi sekaligus merasakan ketakutan yang besar untuk merealisasikan kehamilannya. Apalagi karena disertai dengan satu atau berbagai pengalaman kegagalan hamil sebelumnya (jadi ada kecenderungan ambivalensi juga)," papar Henny.
Keinginan yang disertai dengan ambivalensi ketakutan dan rasa bersalah yang besar membuat perempuan yang mengalami kondisi ini 'menghukum diri' dan secara simultan terjadilah reaksi fisiologis yang berkaitan dengan gejala kehamilan. Penyebab yang pasti dari pseudosiesis belum diketahui. Namun faktor yang sangat sering berhubungan dengan terjadinya hal tersebut adalah faktor emosional/psikis yang menyebabkan kelenjar pituitary terpengaruh sehingga menyebabkan kegagalan sistem endokrin dalam mengontrol hormon yang menimbulkan keadaan seperti hamil.
"Jadi, kebanyakan kejadian hamil palsu ini disebabkan faktor psikologis yang terjadi karena sangat besarnya (dan tidak realistisnya) keinginan untuk memiliki anak atau bisa juga karena ingin menghindari kehamilan," simpul Henny.
(vit/up)











































