Pusing dan Mual Akibat Benturan di Kepala, Gejala Gegar Otak?

Pusing dan Mual Akibat Benturan di Kepala, Gejala Gegar Otak?

detikHealth
Selasa, 23 Jun 2015 13:19 WIB
Ditulis oleh:
Pusing dan Mual Akibat Benturan di Kepala, Gejala Gegar Otak?
Ilustrasi: Thinkstock
Jakarta - Saya punya seorang teman wanita, dengan tinggi 163 cm berat badan 46 kg mengalami benturan di kepala yang mengakibatkan mimisan pada keesokan harinya, dan pusing disertai mual dalam 3 hari hingga saat ini setelah kejadian benturan tersebut, apakah hal tersebut merupakan gejala gegar otak atau hanya gejala trauma kepala ringan?

Rachmansyah (Pria, 20 tahun)
revierachXXXXXX@gmail.com
Tinggi 179 cm, berat 65 kg

Jawaban

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari penjelasan singkat di atas, kami temukan adanya benturan di kepala yang berakibat mimisan, disertai pusing dan mual selama lebih dari tiga hari. Ini jelas pertanda ada trauma/cedera kepala. Hendaklah Anda segera membawanya ke IGD/UGD terdekat untuk dilakukan evaluasi oleh tim medis. Cedera kepala memiliki banyak sekali nama lain (sinonim), seperti: trauma kepala, trauma kapitis, head injury, gegar otak. Menurut KBBI, gegar otak adalah penderitaan pada otak akibat guncangan dari luar (karena terjatuh, pukulan benda keras, dsb).

Informasi sederhana tentang gegar otak juga dapat diklik pada: https://health.detik.com/read/2014/12/12/174819/2776002/763/yang-perlu-anda-ketahui-seputar-gegar-otak. Bentuk cedera kepala yang lebih berat atau parah disebut cedera otak traumatik (traumatic brain injury, TBI).

Potret Klinis

Cedera kepala yang perlu segera dibawa ke UGD/IGD rumah sakit, lalu ditangani oleh dokter adalah cedera kepala yang memiliki tanda dan gejala: perdarahan kepala atau wajah, perdarahan atau keluarnya cairan dari hidung atau telinga, sakit kepala yang berat, ukuran pupil mata tak seimbang, perubahan dan penurunan kesadaran (dalam hitungan menit), perubahan mata dan kulit di belakang telinga (menjadi hitam dan membiru), henti napas, bingung, kehilangan keseimbangan, lengan dan kaki lemas atau tidak dapat digerakkan (lumpuh), gangguan berbicara (pelo, kacau), kejang. Ini adalah tanda-gejala cedera kepala pada dewasa.

Pada anak-anak, cedera kepala harus secepatnya dibawa ke UGD/IGD rumah sakit terdekat, bila dijumpai salah satu tanda-gejala cedera kepala pada dewasa, menangis terus, menolak makan, muntah berulang. Pada bayi, adanya penonjolan lunak di dahi setelah terjatuh, juga perlu segera dibawa ke UGD/IGD rumah sakit terdekat.

Pendekatan Cedera Kepala

Menurut Thim T, dkk (2012), secara umum, dokter bersama tim medis rumah sakit akan melakukan pendekatan ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure).

Pendekatan ABCDE bertujuan untuk menyediakan penatalaksanaan yang sistematis dan holistik di dalam menyelamatkan kehidupan, membagi-bagi situasi klinis yang kompleks menjadi bagian yang lebih termanajemen, menyediakan sistem penilaian dan algoritma terapi, mengupayakan kewaspadaan situasional di antara tim medis, mengefektifkan waktu, memercepat penegakan diagnosis dan menyediakan terapi yang tepat sesuai indikasi.

Berikut ini uraian singkat pendekatan ABCDE.
1. Airway dan cervical spine control: amati, apakah ada sumbatan di jalan napas. Apakah penderita masih dapat berespon, bernapas. Tim medis akan mengupayakan manuver head-tilt dan chin-lift untuk membuka sekaligus membersihkan jalan napas. Pertahankan posisi tulang leher tetap lurus dan diam tak bergerak (terfiksasi) dengan collar neck (penyangga leher).

2. Breathing: berikan bantuan pernapasan setelah melihat (pergerakan dinding dada), mendengar (auskultasi paru-paru), dan merasakan ada tidaknya hembusan napas. Tim medis akan mengevaluasi dengan pulse oximetry dan memberikan oksigen, ventilasi, atau medikasi sesuai indikasi.

3. Circulation: evaluasi adakah denyut nadi (60 - 100 per menit), waktu pengukuran kapiler (capillary refill time, idealnya kurang dari 2 detik). Amati perubahan warna kulit, apakah berkeringat, bagaimana bunyi jantungnya (dengan stetoskop), bagaimanakah tekanan darahnya, evaluasi dengan elektrokardiografi. Tim medis berupaya akan mencegah perdarahan, meninggikan kaki, mengupayakan medikasi via pembuluh darah vena (akses intravena), dan memberikan infus salin.

4. Disability: evaluasi AVPU (Alert, kewaspadaan), Voice responsive (respon suara), Pain responsive (respon nyeri), Unresponsive (tidak berespon). Tim medis akan mengevaluasi refleks cahaya pada pupil dan gula darah. Bila terjadi penurunan kesadaran, maka secepatnya dikoreksi dengan glukosa (infus/oral).

5. Exposure: evaluasi bagaimanakah kondisi penderita secara keseluruhan? Tim medis akan mengobservasi tanda-tanda trauma, perdarahan, reaksi kulit, bekas jarum, dsb. Tim medis akan melakukan pemeriksaan fisik secara holistik sehingga pakaian perlu dibuka. Suhu tubuh juga diukur dengan termometer.

Mnemonik-teknik ABC mulai dikembangkan oleh Safar pada tahun 1950an. Perkembangan selanjutnya, Styner pada tahun 1976, mengusulkan adanya pembakuan sistem Advanced Trauma Life Support (ATLS) setelah ia dan keluarganya mengalami kecelakaan pesawat.

Metode pembelajaran ATLS tersebut hingga kini menjadi pedoman baku untuk penatalaksanaan kasus kegawatdaruratan medis di seluruh dunia.

Penilaian Cedera Kepala

Untuk menilai cedera kepala, dokter menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). Cedera kepala dinyatakan ringan bila GCS 14-15. Cedera kepala dinyatakan sedang bila GCS 9-13. Cedera kepala dinyatakan berat bila GCS 3-8.

Bila GCS kurang dari 13, maka tim medis akan melakukan observasi ketat setiap 15 menit selama 6 jam pertama dan 30 menit selama 6 jam berikutnya. Observasi ini akan dicatat di rekam medis penderita, untuk mengevaluasi kondisinya.

Bila diperlukan, dokter akan merekomendasikan pemeriksaan penunjang, yakni pencitraan radiologis, misalnya: foto polos kepala, CT scan kepala.

Jelaslah secara umum, tim medis di UGD/IGD rumah sakit akan menjaga jalan napas dan ventilasi, mengatasi syok, memeriksa dan mengevaluasi sistem persarafan, mencegah agar tidak berlanjut menjadi cedera otak sekunder, mencari adakah cedera penyerta. Jadi intinya adalah menstabilkan hemodinamika dan homeostatis penderita agar tidak memburuk.

Bila diperlukan, maka dokter UGD/IGD rumah sakit akan berkonsultasi ke spesialis terkait, seperti: spesialis saraf, bedah, bedah saraf, ortopedi, dsb sesuai kondisi penderita.

Demikian penjelasan ini, semoga memberikan solusi.

Salam sehat dan sukses selalu.

dr. Dito Anurogo
Bekerja di Indonesian Young Health Professionals' Society (IYHPS).

(hrn/up)

Berita Terkait