Sering dihubungkan dengan tingkat kecerdasan, faktanya disleksia adalah gangguan neurologis yang mempengaruhi bagian otak yang terlibat dalam pemrosesan bahasa.
Apa Itu Disleksia?
Berdasarkan definisi Asosiasi Disleksia Indonesia, disleksia adalah salah satu bentuk kesulitan belajar spesifik, yakni suatu kondisi yang ditandai dengan adanya kesulitan belajar yang terjadi pada individu dengan potensi kecerdasan yang sedikitnya normal atau berada pada taraf kecerdasan rata-rata.
Disleksia membuat pengidapnya mengalami kesulitan belajar di area berbahasa, termasuk bahasa lisan, bahasa tulisan, dan bahasa sosial, disertai adanya gangguan di area fungsi eksekutif.
Disleksia sering kali disertai dengan bentuk kesulitan belajar spesifik lainnya yaitu disgrafia dan diskalkulia. Selain itu, disleksia sering kali juga disertai dengan kondisi penyerta lain, seperti Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (ADHD), dan Gangguan Perencanaan Motorik (Dispraksia).
Disleksia terjadi karena ada gangguan pada cara otak memproses tulisan. Kebanyakan orang mengetahui bahwa mereka mengidap disleksia selama masa kanak-kanak. Kondisi ini jarang terjadi secara umum. Para ahli memperkirakan disleksia mempengaruhi sekitar tujuh persen orang di dunia.
Meski begitu, banyak pengidapnya memiliki gejala yang tidak cukup parah untuk didiagnosis. Karenanya, jika dihitung dengan mereka yang tidak terdiagnosis, disleksia diperkirakan mempengaruhi hingga 20 persen orang di dunia.
Disleksia memiliki beberapa tingkat keparahan:
1. Ringan
Ada kesulitan, tetapi seseorang dapat mengatasinya dengan akomodasi atau dukungan yang tepat.
2. Sedang
Kesulitan cukup signifikan sehingga seseorang membutuhkan instruksi dan bantuan khusus. Seseorang mungkin juga memerlukan intervensi atau akomodasi khusus.
3. Parah
Kesulitan sangat terasa sehingga terus menjadi masalah bahkan dengan intervensi khusus, akomodasi, dan bentuk perawatan lainnya.
Gejala Disleksia
Gejala disleksia mungkin sulit dikenali jika anak belum sekolah, tetapi beberapa tanda-tanda awal mungkin menunjukkan adanya masalah. Begitu anak masuk sekolah, guru mungkin menjadi orang pertama yang menyadari adanya masalah.
1. Pada anak yang belum sekolah
Gejala bahwa seorang anak mungkin berisiko mengalami disleksia meliputi:
- Terlambat berbicara
- Mempelajari kata-kata baru secara perlahan
- Sulit dalam membentuk kata dengan benar, seperti membalikkan bunyi dalam kata atau bingung terhadap kata yang bunyinya mirip
- Sulit mengingat atau menamai huruf, angka, dan warna
- Kesulitan mempelajari sajak anak-anak atau memainkan permainan berima
2. Usia sekolah
Begitu anak bersekolah, gejala disleksia mungkin menjadi lebih jelas, seperti:
- Proses membaca jauh di bawah tingkat yang diharapkan untuk usianya
- Sulit memproses dan memahami apa yang didengar
- Kesulitan menemukan kata yang tepat atau membentuk jawaban atas pertanyaan
- Sulit mengingat urutan hal-hal
- Kesulitan melihat (dan terkadang mendengar) persamaan dan perbedaan huruf dan kata
- Ketidakmampuan untuk membunyikan pengucapan kata yang tidak dikenal
- Kesulitan mengeja
- Menghabiskan waktu yang sangat lama untuk menyelesaikan tugas yang melibatkan membaca atau menulis
- Menghindari kegiatan yang melibatkan membaca
3. Usia remaja dan dewasa
Gejala disleksia pada remaja dan dewasa sangat mirip denga anak-anak. Beberapa gejala disleksia yang umum pada remaja dan dewasa adalah:
- Kesulitan membaca, termasuk membaca dengan suara keras
- Lambat dalam membaca dan menulis karya yang padat
- Sulit mengeja
Menghindari kegiatan yang melibatkan membaca - Salah mengucapkan nama atau kata atau sulit dalam menentukan kata
- Menghabiskan waktu yang sangat lama untuk menyelesaikan tugas yang melibatkan membaca atau menulis
- Kesulitan meringkas cerita
- Kesulitan belajar bahasa asing
- Kesulitan mengerjakan soal cerita matematika
Penyebab Disleksia
Penyebab pasti disleksia masih belum diketahui. Namun, ada beberapa hal yang mungkin bisa menjadi penyebab.
1. Genetika
Disleksia sangat genetik dan diturunkan dalam keluarga. Seorang anak dengan salah satu orang tua pengidap disleksia memiliki peluang 30 persen hingga 50 persen untuk mewarisinya. Kondisi genetik seperti Down Syndrome juga dapat membuat disleksia lebih mungkin terjadi.
2. Perbedaan perkembangan dan fungsi otak
Jika seseorang mengidap disleksia, bisa saja mereka adalah neurodivergent. Itu berarti otak terbentuk atau bekerja secara berbeda dari yang diharapkan. Penelitian menunjukkan pengidap disleksia memiliki perbedaan struktur otak, fungsi dan kimiawi.
3. Gangguan perkembangan fungsi otak
Infeksi, paparan racun, dan kejadian lain dapat mengganggu perkembangan janin dan meningkatkan kemungkinan perkembangan disleksia di kemudian hari.
Faktor Risiko Disleksia
Beberapa faktor risiko dapat berkontribusi pada kemungkinan seseorang mengembangkan disleksia. Mereka termasuk (namun tidak terbatas pada):
1. Paparan beracun
Polusi udara dan air dapat meningkatkan risiko terkena disleksia. Hal ini terutama berlaku untuk logam berat, seperti timbal atau mangan, nikotin, dan bahan kimia tertentu yang digunakan sebagai penghambat api.
2. Kurangnya akses ke bahan bacaan
Risiko mengembangkan disleksia lebih tinggi untuk anak-anak yang tumbuh dalam rumah tangga yang kurang membaca atau memiliki kekurangan dalam bahan bacaan.
3. Keterbatasan lingkungan belajar
Anak-anak dengan dukungan belajar yang kurang di sekolah atau lingkungan serupa lebih mungkin mengembangkan disleksia.
Komplikasi Disleksia
Disleksia dapat menyebabkan beberapa masalah, antara lain:
1. Kesulitan belajar
Karena membaca adalah keterampilan dasar untuk sebagian besar mata pelajaran sekolah lainnya, seorang anak dengan disleksia berada pada posisi yang kurang menguntungkan di sebagian besar kelas dan mungkin kesulitan mengikuti teman sebayanya.
2. Masalah sosial
Jika tidak diobati, disleksia dapat menyebabkan harga diri rendah, masalah perilaku, kecemasan, agresi, dan penarikan diri dari teman, orang tua, dan guru.
3. Masalah sebagai orang dewasa
Ketidakmampuan untuk membaca dan memahami dapat mencegah anak mencapai potensinya saat mereka tumbuh dewasa. Ini dapat memiliki dampak pendidikan, sosial dan ekonomi jangka panjang yang negatif.
Anak-anak yang menderita disleksia juga berisiko lebih tinggi mengalami gangguan defisit perhatian/hiperaktivitas (ADHD), dan sebaliknya. ADHD dapat menyebabkan kesulitan menjaga perhatian. Ini juga dapat menyebabkan hiperaktif dan perilaku impulsif, yang dapat membuat disleksia lebih sulit diobati.
Diagnosis Disleksia
Meskipun disleksia disebabkan oleh perbedaan di otak, tidak ada tes darah atau pemeriksaan laboratorium yang dapat mendeteksinya. Sebaliknya, evaluasi dan pengujian yang cermat terhadap tanda-tanda umum mengidentifikasi seseorang dengan masalah membaca ini.
Pengujian untuk disleksia harus melihat:
- Decoding (membaca kata-kata asing dengan membunyikannya)
- Keterampilan bahasa lisan
- Kelancaran membaca dan pemahaman bacaan
- Ejaan
- Kosakata
- Pengenalan kata
Pengobatan Disleksia
Saat ini, tidak ada obat yang bisa mengobati disleksia. Sebaliknya, intervensi pendidikan dapat mengajarkan cara-cara baru yang efektif untuk belajar dan membaca.
Anak-anak dengan disleksia dapat bekerja dengan spesialis terlatih untuk mempelajari keterampilan membaca yang baru. Terkadang, memperlambat pelajaran memberi anak disleksia lebih banyak waktu untuk membahas topik. Bekerja samalah dengan sekolah anak untuk memastikan anak mendapatkan pendidikan yang layak mereka dapatkan.
Kapan Harus ke Dokter?
Untuk anak-anak dengan masalah belajar, semakin dini orang tua melakukan intervensi, semakin baik. Mulailah dengan menghubungi sekolah anak. Dengarkan pendapat guru. Jika tingkat membaca anak berada di bawah yang diharapkan guru untuk usianya, maka orang tua harus berkonsultasi dengan dokter anak.
Simak Video "Video Mitos atau Fakta: Udara Pagi Pantai Obat Alami Pengidap Asma"
[Gambas:Video 20detik]
(suc/suc)











































