Bayi kembar siam Syakira Ainani Hutami dan Zahira Ainani Hutami lahir dari pasangan Edy Utomo (30 tahun) dan Siti Maryam (31 tahun), warga Sindangpulo, Koja Jakarta Utara. Keduanya lahir dalam kondisi sehat, pada usia kehamilan 37 pekan dengan berat badan 4,5 kg melalui operasi caesar pada 16 November 2011 di RS Cipto Mangunkusumo.
Syakira dan Zahira mengalami kondisi dempet kepala atau dalam bahasa ilmiah disebut kraniopagus. Posisinya dempet di bagian atas kepala, dengan wajah salah satu bayi menghadap ke samping sehingga menyulitkan keduanya untuk berbaring telentang dalam waktu bersamaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kondisi saat ini cukup baik dan stabil. Namun tetap ada risiko perdarahan selama operasi maupun infeksi dalam perawatan sesudahnya," kata Prof Dr dr Bambang Supriyatno, SpA(K), ketua dokter yang menangani pemisahan kembar siam Syakira dan Sahira dalam jumpa pers di RS Cipto Mangunkusumo, Rabu (11/1/2012).
Karena bagian yang dempet adalah kepala, maka tantangan terbesar yang dihadapi para dokter adalah kondisi sebagian pembuluh darah di kepala yang menyatu. Karena itu dokter bedah saraf harus ekstra hati-hati untuk memisahkannya untuk menghindari kerusakan pembuluh darah maupun sistem saraf yang terhubung ke sana.
Risiko terbesar dalam operasi ini adalah perdarahan, yang jika tidak diantisipasi bisa memicu kematian. Sedangkan risiko jangka panjang sesudah operasi antara lain infeksi, gangguan tumbuh kembang dan yang paling buruk adalah kematian.
Kondisi kembar siam di kepala terbilang cukup langka, hanya terjadi pada 1 dari 2,5 juta kelahiran hidup.
Siti Maryam, ibu bayi kembar ini mengaku baru mengetahui kondisi janin yang dikandungnya sejak bulan ke-8. Kondisi ini tidak terdeteksi saat periksa di Puskesmas, lalu baru ketahuan ketika dirujuk ke RS Cipto Mangunkusumo untuk pemeriksaan Ultra Sonografi (USG).
"Tidak ada persiapan khusus sebelum lahiran, cuma rajin-rajin periksa saja," kata Siti yang hadir didampingi suaminya, Edy Utomo.
Soal biaya operasi, pasangan Edy dan Siti berharap penuh pada fasilitas Surat Keterangan Tidak Mampu. Sebagai buruh bangunan, penghasilan Edy yang hanya Rp 30 ribu perhari jelas tidak bisa diandalkan untuk menutup biaya operasi yang diperkirakan mencapai Rp 500 juta.
(up/ir)











































