"Ada perhimpinan dokter yang meresepkan jamu untuk pasiennya, tetapi mereka menggunakan kata herbal. Jamu saat ini perlahan-lahan mulai dibinasakan di masyarakat," ungkap Jaya Suprana, pemilik perusahaan Jamu Jago dalam acara Media Gathering mengenai Inovasi Industri Jamu di Indonesia yang diselenggarakan PT. Sinde Budi Sentosa di Hotel Borobudur Jakarta, Selasa (12/6/2012
Menurut Jaya, istilah jamu seharusnya tidak boleh diganti dengan herbal karena jamu merupakan warisan budaya bangsa dan hanya satu-satunya di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penggunaan istilah tersebut memang dirasa kurang tepat. Pasalnya, posisi jamu sebagai pengobatan tradisonal sampai saat ini masih memiliki tempat yang lekat di masyarakat.
Hasil Riset Kesehatan Dasar 2010 menyebutkan bahwa persentase masyarakat Indonesia yang mengkonsumsi jamu sebanyak 59,12% di berbagai kelompok usia dan daerah. Dari jumlah sebesar itu, 95,6% mengakui manfaat jamu bagi kesehatan.
Saat ini, kementerian kesehatan tengah mengupayakan saintifikasi jamu di kalangan kedokteran. Lewat program ini, dokter boleh meresepkan jamu sebagai pengobatan untuk pasiennya.
Upaya ini baru berjalan hampir 2 tahun dan diharapkan dapat memperkuat posisi jamu sebagai cara pengobatan yang terbukti ampuh.











































