Dilansir Daily Mail, Jumat (8/11/2013), dalam sebuah studi para peneliti percaya terlalu sering memarahi anak ketika ia berusia di bawah tiga tahun bisa membuat mereka anti-sosial saat beranjak dewasa. Mereka mengatakan perlakuan orang tua yang terlalu kasar, keras, bahkan cenderung egois bisa mempengaruhi perilaku si anak jadi lebih buruk.
Peneliti menemukan sifat-sifat buruk ini berkembang sebagai hasil dari reaksi berlebihan salah satu bagian otak. Namun, hal itu bisa diubah dengan memberikan dukungan dan pengasuhan yang bersifat aktif ketika anak-anak mulai menunjukkan masalah dalam perilakunya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Gangguan perilaku tersebut bisa diperparah jika orang tua terlalu keras dan galak pada anaknya terutama yang berusia di bawah tiga tahun. Prevalensi gangguan perilaku itu sekitar sepuluh persen," imbuh Dr Luke.
Dr Luke dan tim dari University of Michigan, Duke University, University of Pittsburgh, dan lembaga lain menyelidiki hubungan lingkungan dan kondisi biologis anak-anak untuk melihat bagaimana mereka mengelola perilakunya di kemudian hari.
Mereka menemukan anak-anak yang mendapat perlakuan kasar dan keras cenderung berperilaku anti sosial saat mereka dewasa. Perilaku anti sosial itu termasuk kejam terhadap hewan, tidak merasa bersalah meski melakukan kekeliruan, licik, berbohong, egois, dan menolak untuk memperbaiki tingkah lakunya meski sudah dihukum.
"Perilaku ini memang cukup umum terjadi. Tapi jika setelah umur tiga tahun mereka masih berperilaku seperti ini, sifat anti sosial mereka justru akan meningkat di tahun berikutnya. Maka dari itu, orang tua sebaiknya bisa mengelola masalah perilaku anaknya dengan lebih banyak menghabiskan waktu dengan buah hatinya melalui kegiatan yang positif dan sebisa mungkin menghindari hukuman yang merujuk pada kekerasan," kata Dr Luke.
Ia menambahkan, tim peneliti juga melihat bagian otak yang disebut amigdala yang mengontrol perasaan takut dan emosi visceral yang diakitkan dengan perilaku agresif, impulsif, serta gangguan kecemasan dan depresi. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa amigdala menjadi over reaktif sebagai akibat kondisi genetik dan pengalaman individu.
"Sekali amgidala over reaktif, orang cenderung akan berperilaku berlebihan karena melihat hal-hal di sekitarnya sebagai ancaman. Kecenderungan ini dipengaruhi juga dengan kondisi lingkungan termasuk dukungan sosial. Jika mereka tak mendapat dukungan dari teman atau keluarga, maka hubungan amigdala dan kecemasannya jauh lebih kuat,"jelas Dr Luke.
(vit/vit)











































