Eki (30 tahun), mengaku tidak mempermasalahkan identitasnya sebagai perempuan di KTP. Meski penampilan luarnya mirip laki-laki dengan rambut pendek dan badan tegapnya, ia tidak memungkiri bahwa secara fisik ia memiliki vagina dan payudara sebagaimana perempuan lainnya.
Namun ia tidak menyangkal, jiwa dan batinnya tidak sejalan dengan identitas kelaminnya secara fisik. Jadilah Eki seperti sekarang, berpenampilan macho, dengan celana jins dan kemeja kotak-kotak yang 'sangat laki-laki' saat ditemui detikHealth baru-baru ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak kecil, Eki memang digelari 'tomboy' oleh teman-teman di lingkungannya. Namun informasi tentang transgender baru didapatnya ketika menginjak bangku kuliah. Sejak saat itu, ia memutuskan untuk menjadi priawan, kebalikan dari waria (wanita-pria).
Sungguhpun begitu, ia tidak merasa perlu untuk mencantumkan identitas sebagai 'priawan' pada kolom jenis kelamin di KTP. Agar tak bermasalah dengan urusan administrasi di pemerintahan, ia lebih memilih untuk tidak memusingkan hal itu.
"Saya tulis saja perempuan. Karena fisik saya memang perempuan," ujarnya lagi.
Pengakuan Terhadap Third Gender
Kebingungan atas identitas sekual tidak cuma dialami kaum transgender tetapi juga interseks. Contohnya pengidap sindrom klinefelter yang lahir dengan kelainan kromosom. Jika kromosom pada laki-laki normal adalah XY dan perempuan adalah XX, pengidap sindrom ini lahir dengan kromosom XXY.
Ciri-ciri yang terjadi pada pengidap sindrom klinefelter bermacam-macam. Karena kromosom mereka tidak spesifik mencirikan laki-laki atau perempuan, tidak jarang ditemukan ciri-ciri seksual yang tidak jelas. Pembesaran payudara serta testis yang mengecil adalah salah satu cirinya.
Di beberapa negara termasuk Australia, keberadaan kaum interseks dan transgender mendapat pengakuan. Tanpa pengakuan tersebut, mereka kerap menerima perlakuan diskriminatif karena sifat-sifatnya yang berbeda dari 2 jenis kelamin yang dianggap 'normal' yakni laki-laki dan perempuan.
Misalnya saat diperiksa di bandara, kelompok ini sering tertahan lebih lama karena penampilannya berbeda dengan jenis kelamin yang tercantum di paspornya. Demi menghargai kaum inilah, beberapa negara mengakui adanya third gender atau gender ketiga selain laki-laki dan permepuan.
Eki sendiri mengakui pernah mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dengan identitas sesualnya yang dianggap 'tidak normal' oleh sebagian orang di lingkungannya. "Kamu perempuan atau laki sih? Perempuan kok dandanan dan tingkah lakunya seperti itu?" ujar Eki menirukan ucapan yang pernah dialamatkan kepadanya.
Indonesia, sejauh ini masih berkutat dengan perlu tidaknya mengisi kolom agama di KTP. Kolom jenis kelamin, untuk sementara belum ada gagasan untuk menambah pilihan selain laki-laki dan perempuan, apalagi mengosongkannya.
(vit/up)











































