Menurut kepala ruangan anak RS Kanker Dharmais, Lukitowati S.Kep, yang harus dilakukan saat anak dikemoterapi adalah tim medis berusaha agar pasien anak tidak terlalu merasakan sakit yang luar biasa, efek sampingnya pun harus dipikirkan. Dalam pelaksanaannya pun diperlukan pendekatan khusus.
“Anak memang tidak mengerti kalau dia diapain, menurut dia pokoknya segala sesuatu yang tidak menyakitkan ya pasti tidak menyenangkan. Makanya saat kemo itu misalnya dia harus dimasukkan obat, kita bilang ini ada obat orange untuk bunuh sel jahat di badan kamu biar kamu nggak sakit lagi,” kata wanita yang akrab disapa Luki ini kepada detikHealth saat ditemui di rumah Anyo, Jl. Anggrek Neli, Slipi, Jakarta Barat dan ditulis pada Minggu (9/2/2014).
Diakui Luki memang petugas kemoterapi harus kreatif sebab harus ada beberapa istilah untuk menyebut obat-obat tertentu. Misalnya saja jus penyegar untuk tubuh pasien yang berguna mematikan sel jahat. Untuk prosedur yang dilakukan memang tergantung penyakit karena bisa hanya kemoterapi saja, dengan operasi atau dengan radioterapi.
Misalnya kemoterapi untuk retinoblastoma diberi penyinaran untuk mengecilkan tumor terlebih dulu untuk mencegah pecahnya pembuluh darah. “Karena kalau kemoterapi itu istilahnya menyembuhkan dengan mengejar sel kanker itu ke seluruh tubuh,” ujar Luki.
Untuk meminimalisir rasa sakit karena pemasangan infus atau menyuntikkan obat saat dikemoterapi, Luki mencontohkan ada pemasangan semacam alat yang disebut port a cash di bagian paha. Cara ini sekarang digunakan untuk proses kemoterapi pada pasien leukemia yang baru berusia 15 bulan. Alat ini dipasang di paha di bawah kulit. Sebab, obat yang dimasukkan harus pas. Jika tidak, bisa mengakibatkan luka, bengkak, nyeri, dan panas.
“Untuk penyebab kanker pada anak, faktor utamanya memang belum ditemukan tapi faktor risikonya itu gen, paparan radioaktif, zat kimia, polusi, sinar matahari, polusi air, polusi udara, polusi pabrik, serta penyakit kelainan genetik bawaan,” jelas Luki yang sudah 20 tahun berkecimpung di bidang kemoterapi ini.
Maka dari itu, ia menekankan orang tua untuk selalu memperhatikan anaknya. Menurut Luki perlu adanya deteksi dini apalagi ketika anak menunjukkan gejala demam fluktuatif dalam waktu tiga bulan, pucat, anak yang awalnya berjalan normal jadi lemas, keseimbangannya terganggu, dan penglihatannya berkurang.
“Makanya orang tua perlu selalu memperhatikan. Begitu juga di sekolah, UKS jangan cuma hanya untuk menangani anak yang lagi sakit tapi juga ada skrining kesehatan misalnya kesehatan fisik atau mata,” ucap Luki.
(rdn/vit)











































