“Terapis itu hanya melatih, tetapi terapis yang sebenarnya ya bapak ibu sendiri, orang tua adalah guru utama anak," tutur Eka K. Hikmat, S. Psi, Terapis Auditory Verbal (AV) dari Yayasan Rumah Siput Indonesia.
Psikolog jebolan Universitas Padjadjaran tersebut tertarik menjadi terapis anak dengan gangguan dengar lantaran terinspirasi oleh sosok Helen Keller. Baginya, sosok Helen Keller sangat menakjubkan. Keller tunarungu serta tunanetra, tetapi ia dapat berbicara dan bahkan menjadi konselor, penulis, dan dosen. Padahal, saat itu belum ada alat bantu dengar maupun implan koklea seperti kini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada detikHealth Eka menuturkan merasa sangat bahagia tatkala mendapati anak-anak tersebut bisa mengucapkan berbagai macam kata. Kepayahan dan kepenatan yang ia dapati ketika memberi terapi seolah menguap begitu saja.
“Ketika pertama kali datang ke kita, tidak ada bahasa sama sekali, tidak ada kata-kata. Kemudian setelah beberapa saat bersama kita, kata-kata keluar, itu rasanya amazing. Saya senang sekali, seolah rasa lelah menjadi tidak berarti saat melihat hasilnya,” ujar Manajer Program Yayasan Rumah Siput Indonesia itu ketika berbincang dengan detikHealth, dan ditulis pada Jumat (2/5/2014).
Sayangnya beberapa orang tua anak tak kooperatif. Mereka hanya mengandalkan terapi saja agar anak dapat mendengar dan berbicara. Padahal, guru utama anak tetaplah keluarga, terutama orang tua. Hal tersebut membuat terapis itu merasa sedih.
“Kalau keluarga tidak mau kooperatif, itu sedih sekali. Karena guru utama untuk bahasa anak sebetulnya keluarga di rumah terutama ibu dan ayah. Nah kalau kita terapi serius sekali, mencoba memberikan yang terbaik, tetapi di rumah tidak dijalankan, itu sama saja bohong, karena guru utamanya tetap ibu dan bapak,” pungkas Eka.
(vit/vit)











































