Stimulasi Otak Dalam, Harapan Baru untuk si OCD

Stimulasi Otak Dalam, Harapan Baru untuk si OCD

- detikHealth
Jumat, 04 Jul 2014 08:32 WIB
Stimulasi Otak Dalam, Harapan Baru untuk si OCD
Brett Larsen (Foto: CNN)
California -

Sang ibu mengaku tak tahu berapa banyak jumlah barang di rumah yang harus diganti dan rusak karena dipakai berulang-ulang kali oleh putranya. Ternyata ini karena putranya mengidap OCD.

Putranya, Brett Larsen didiagnosis mengidap OCD atau obsessive-compulsive disorder yang membuatnya sering merasa cemas. Bedanya, gejala OCD Brett akan cenderung mereda bila ia melakukan sesuatu hal secara berulang-ulang. Bahkan untuk aktivitas harian seperti mandi, memakai sepatu atau berjalan melalui pintu.

Brett sendiri mengaku gejala OCD-nya mulai muncul saat usianya baru 10 tahun atau setelah ayahnya meninggal dunia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya mulai mencemaskan banyak hal, dan saya takut keluarga saya akan mengalami hal yang buruk. Tahu-tahu saya terus melakukannya, dan kondisi saya makin lama makin buruk," tutur Brett seperti dikutip dari CNN, Jumat (5/7/2014).

Di usia 12 tahun, Brett pun dipastikan dokter mengidap OCD. Dan secara otomatis, penyakit mental ini juga 'membajak' hidupnya. Mulai dari ia tak bisa bekerja dan tak punya banyak teman; kepribadiannya sangat tertutup dan ia susah untuk tersenyum; bahkan cara bicaranya pun terbata-bata atau gagap.

Pria yang berusia 37 tahun itu bukannya diam saja. Ia telah menghabiskan waktu lebih dari 20 tahun terakhir untuk mencoba berbagai jenis pengobatan, seperti minum berbagai kombinasi obat, terapi perilaku kognitif, mendatangi beberapa spesialis sekaligus hingga diopname. Tapi hasilnya nihil.

Hingga akhirnya Dr Gerald Maguire menawari Brett untuk menjalani sebuah prosedur di mana nantinya di dalam otak Brett akan 'ditanami' sejumlah elektroda, terutama di dekat striatum atau bagian otak yang bertanggung jawab mengatur emosi mendasar pada manusia seperti cemas dan takut.

"Ini bukan metode lini pertama yang diberikan kepada pasien karena sifatnya yang invasif. Cara ini hanya untuk pasien yang mengalami kegagalan ketika menjalani terapi standar, terapi bicara dan obat-obatan," kata Dr Maguire, yang menjabat sebagai kepala departemen psikiatri dan ilmu saraf di Fakultas Kedokteran University of California Riverside.

Prosedur yang disebut dengan 'deep brain stimulation' ini sendiri sifatnya masih coba-coba karena sebelumnya lebih banyak dipakai pada pasien dengan gangguan sistem saraf seperti tremor, distonia atau Parkinson.

"Setelah 'ditanam', elektroda-elektroda tadi diklaim dapat mengubah 'lingkungan' di dalam otak yang diduga mengakibatkan terjadinya OCD, dengan harapan dapat meredakan gejala OCD yang diperlihatkan penderita," timpal rekan Dr Maguire, Dr Frank Hsu dari departemen bedah saraf University of California.

Dr Hsu menambahkan gejala OCD pada sejumlah pasien sebelum Brett juga cenderung berkurang pasca menjalani prosedur stimulasi pada otak ini, meskipun hingga detik ini peneliti sendiri tak tahu pasti bagaimana mekanisme kerja dari prosedur tersebut.

Ketika akhirnya Brett masuk ke ruang operasi dan tim dokter menstimulasi otaknya, pria ini mengaku rasa takut yang selama ini dialaminya perlahan mulai hilang. Bahkan sesekali Brett tertawa cekikikan karena efek dari stimulasi tersebut.

"Saya tak tahu mengapa, tapi saya merasa bahagia dan ingin tertawa," katanya. Dalam prosedur itu tim dokter juga menentukan bagian otak Brett yang mana yang perlu diberi stimulasi dan seberapa banyak stimulasi yang diberikan agar OCD-nya benar-benar sembuh.

Beberapa minggu pasca operasi, Brett mengaku telah merasakan manfaatnya. Namun alat stimulasi yang diaktifkan di dalam otak Brett baru resmi dinyalakan pada bulan Januari tahun ini. Perasaan bahagia yang dialami Brett memang hanya bersifat sementara karena efek dari terapi ini baru bisa terlihat optimal berbulan-bulan kemudian.

Tiap beberapa minggu sekali dokter juga akan menambah jumlah arus listrik yang harus dialirkan ke otak Brett. "Tapi setiap kali dinyalakan, saya merasa jauh lebih baik dan lebih kalem," sambungnya.

Sebagian gejala kompulsif yang diperlihatkan Brett selama ini juga perlahan mulai berkurang. Bahkan di bulan Mei, Brett sudah bisa memakai sepatunya sendiri dengan mudah. Padahal dulunya Brett hanya bisa berputar-putar mengelilingi sepatunya untuk meredakan kecemasan yang dirasakannya. Meski perilaku lain seperti mematikan atau menyalakan kran air berulang kali tetap berlanjut, kini Brett sudah jauh lebih baik.

Pencapaian lain adalah Brett yang dulunya hampir tak pernah keluar rumah, sejak menjalani terapi stimulasi otak ini tercatat sudah mengunjungi Disneyland bersama teman-temannya sebanyak dua kali. Ia juga menyempatkan diri berjalan-jalan di pantai.

Kendati begitu, Dr Hsu tak menampik bila prosedur ini ada efek sampingnya semisal risiko pendarahan di otak, stroke maupun infeksi. Baterai yang 'ditanam' di bawah kulit agar arus listrik bisa terus mengalir ke otak dayanya juga bisa habis. Dan bila sudah begini, prosedur operasi lain harus dilakukan untuk mengganti baterai tersebut.

(lil/up)

Berita Terkait