"Ini hanya spekulasi. Bisa jadi orang yang mengidap migrain mempunyai kesamaan genetik dengan para pengidap Parkinson. Kemungkinan lainnya adalah pengidap migrain lebih sering mengalami cedera di kepala, yang meningkatkan risiko parkinson," tutur peneliti utama Ann I. Scher dari Uniformed Services University and the National Institute on Aging in Bethesda, Maryland, Amerika Serikat, dikutip dari Reuters (18/9/2014).
Penelitian Scher dilakukan melalui data yang dimiliki Icelandic Heart Association. Data ini berisikan gejala-gejala sakit kepala yang dirasakan oleh orang-orang dengan usia di atas 50 tahun. Jika mereka mengalami sakit kepala minimal satu kali dalam sebulan, mereka akan diberikan pertanyaan lanjutan soal gejala awal migrain seperti mual, sakit kepala sebelah, sensitivitas kepada cahaya dan gangguan penglihatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari 5.620 partisipan yang terlibat, 4.000 di antaranya mengaku tidak pernah mengalami sakit kepala sama sekali, 1.028 mengalami sakit kepala non-migrain, 430 mengalami migrain dengan gangguan penglihatan dan mual serta 238 mengalami migrain biasa.
Hasil lain menunjukkan bahwa satu per tiga orang yang mengalami migrain pernah mengalami migrain dengan aura. Penelitian pada tahun 1967 ini pun dilanjutkan 27 tahun kemudian, ketika para partisipan berumur 77 tahun. Mereka ditanya soal gangguan motorik seperti tremor di tangan, suara pelan, dan kemampuan menulis serta menggenggam.
9 Persen dari seluruh partisipan memiliki gangguan motorik. Semua yang mengalami gangguan motorik ternyata adalah orang-orang yang memiliki migrain aura pada usia 50 tahun. Selain itu 1,2 persen partisipan akhirnya mengidap Parkinson.
Namun Scher mengatakan bahwa orang-orang yang mengidap migrain tak perlu panik soal hasil yang ditunjukkan studi ini. Pasalnya, penyakit Parkinson masih termasuk penyakit langka yang jarang ditemui dan tak menyerang semua orang.
"Memang mereka yang mengalami migrain 2,5 kali lebih berisiko mengidap Parkinson. Akan tetapi penyakit masih jarang dan orang-orang tak perlu panik menyikapinya," tutup Scher
Penelitian ini diterbitkan di Journal Neurology.
(mrs/vta)











































