Perjuangan Rita dan Tusi Membesarkan Anak-anak dengan Sindrom Langka

Cornelia de Lange Syndrome (4)

Perjuangan Rita dan Tusi Membesarkan Anak-anak dengan Sindrom Langka

Rahma Lillahi Sativa - detikHealth
Selasa, 22 Sep 2015 14:39 WIB
Perjuangan Rita dan Tusi Membesarkan Anak-anak dengan Sindrom Langka
Foto: Rahma Lillahi Sativa
Yogyakarta - Saat ini Farhan, anak laki-laki dari Rita Nur Aminah, dan keluarganya tinggal di Rusunawa Graha Bina Harapan, Bantul yang tak lain adalah kediaman kakek dan neneknya. Ini untuk memudahkan Rita ketika akan mengantarkan sang putra menjalani fisioterapi.

"Sejauh ini Farhan masih fisioterapi saja di (RS, red) Sardjito, tiap Selasa dan Jumat. Terapinya baru jalan 5 bulan ini," kisah Rita dalam perbincangannya dengan detikHealth dan ditulis Selasa (22/9/2015).

Rita merunut, setelah dirujuk ke RS Dr Sardjito, Farhan sempat menjalani rawat inap selama 9 hari. Waktu itu Farhan hanya bisa dipasangi selang OGT (oral gastric tube) untuk bisa makan. Dalam waktu yang bersamaan, oralnya juga dilatih agar bisa menghisap.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setelah dirasa berat badannya naik hingga 1.800 gram, Farhan akhirnya diperbolehkan pulang. Ini disusul dengan rutinitas kontrol ke RS Dr Sardjito, namun Rita hanya sempat 4 kali kontrol saja.

"Habis itu sempat saya stop karena mengingat biaya. Waktu itu saya belum punya jaminan apa-apa. Nunggu BPJS dari kantor ayahnya juga belum turun-turun," terangnya.

Rita lantas menyiasati terapi Farhan dengan pengobatan alternatif. Total pengobatan ini dilakukan selama 13 bulan, dan Rita melihat kondisi Farhan mulai memperlihatkan perkembangan. Di usia 4 bulan, Farhan bisa tengkurap.

"Setelah itu saya berhenti di alternatif. Karena orangnya sudah sepuh ya sudah tidak bisa menerima pasien lagi. Alhamdulillah habis itu BPJS-nya jadi, langsung saya pindah ke RS Dr Sardjito, dan dievaluasi lagi dari nol," katanya.

Beruntung hasil kontrol pertama menunjukkan ada kemajuan pada kondisi Farhan. Jantungnya diperkirakan sudah menutup karena menurut keterangan dokter, jantungnya tak bising lagi. Begitu juga dengan kondisi kepalanya.

"Tinggal testisnya aja. Waktu di-USG dua bulan lalu cuma kelihatan satu, sebelah kanan, tapi masih di selangkangan. Dokter menyarankan untuk suntik hormon," ungkap Rita.

Lagi-lagi terbentur biaya, Rita terpaksa tidak melakukannya. Ia diberitahu bahwa terapi hormon idealnya dilakukan dua kali seminggu, selama lima minggu. Total biaya yang dibutuhkan mencapai Rp 5 juta.

"Setelah saya sharing-sharing dengan temen-temen, ternyata ada temen yang testis anaknya muncul sendiri setelah dia memasuki usia puber. Testis anak teman lainnya juga hanya terlihat satu seperti Farhan. Jadi agak tenang," paparnya.

Selepas diterapi, Rita mengutarakan putranya menjadi lebih gesit. Sebelum diterapi, ia hanya bisa duduk jika didudukkan, namun tiga minggu belakangan Farhan sudah bisa bangun sendiri dari posisi tidur, kemudian duduk sendiri. Rita menambahkan Farhan juga sedang gemar-gemarnya mengesot.

Baca juga: Anak Dipuji karena Alisnya Tebal, Padahal Gejala Sindrom Langka

Tusiati pun tak jauh berbeda. Setelah sempat berobat jalan ke Prof Suhartini dari RS Dr Sardjito, Tusi diarahkan untuk kembali ke RS Grhasia Pakem, Sleman dan menjalani terapi. Fisioterapi di RS Grhasia ternyata belum begitu ramai.

Rupanya tak banyak yang tahu bila RS Grhasia juga memiliki layanan umum, seperti spesialis anak. Maklum, RS Grhasia selama ini lebih dikenal sebagai Rumah Sakit Jiwa (RSJ).

Kondisi ini justru menguntungkan bagi Tusi dan putrinya, Vivi, sebab mereka tak perlu mengantre hanya untuk terapi. Dalam seminggu, terapi dilakukan sebanyak dua kali (Rabu dan Sabtu). Selain tidak membuat sang putri capek, jadwal itu memudahkan ayah Vivi untuk ikut mendampingi dan mengantar anak kesayangannya.

"Terapi dimulai usia 7 bulan, waktu itu belum bisa apa-apa trus saya tambah pijat tradisional, Vivi akhirnya bisa jalan di usia 2 tahun 8 bulan," ungkap Tusi.

Di saat terapi, Vivi diajari berjalan dengan cara mendorong kursi plastik. Sesampainya di rumah, Tusi dan suaminya, Purwanto berinisiatif membelikan kursi plastik sendiri, dan terapi tambahan pun dilakukan di rumah.

"Vivi itu kalau tidur sampai malam-malam, jam 11-12 gitu belum tidur, saking semangatnya belajar jalan," papar Tusi sembari tertawa.

Saat memasuki usia dua tahun, Tusi berkonsultasi kepada dokter untuk memastikan apakah putrinya sudah bisa diterapi wicara atau tidak. Ternyata usulannya ini disambut positif oleh sang dokter. Dengan begitu di usia dua tahun, Vivi sudah mulai menjalani terapi wicara.

Ketika 'lulus' dari fisioterapi, terapi wicara tetap dilanjutkan dengan menambahkan terapi okupasi. "Untuk merawat Vivi, saya sempat browsing-browsing sendiri (soal CdLS, red), tapi ayahnya malah takut pikirannya jadi macem-macem. Jadi bagaimana mengurus Vivi itu informasinya dapat dari dr Sunartini, dokter di RS Grhasia dan terapis-terapisnya. Kan kalo tenaga medis pasti ngayem-ngayemi," tuturnya polos.

Sembari terapi, Vivi saat ini juga sudah disekolahkan di sebuah sekolah inklusi di Sleman. Di situ Vivi berbaur dengan teman-teman yang berkebutuhan khusus maupun tidak, sehingga kemampuan bersosialisasinya juga lebih baik.

"Temannya banyak, sama orang tua juga grapyak (ramah). Walaupun saya tinggal dia bisa main sama anak kecil ataupun orang dewasa. Cuma bisa ngomong 'ayah', 'maem', 'mamah', 'bapak', 'eh' (kalau minum)," tambah Tusi.

Baca juga: Selain Farhan di Bantul, Vivi di Sleman Juga Mengidap Penyakit Langka CdLS

(lll/up)

Berita Terkait