"Waktu awal-awal belajar (menyusui, red) itu lumayan stres ya, Mbak. Saya harus ngalahi memerah ASI tiap dua jam sekali, trus diteteskan ke mulutnya sedikit-sedikit," ungkap Rita kepada detikHealth dan ditulis Selasa (22/9/2015).
Namun perempuan asal Bantul tersebut memastikan stresnya sebenarnya dipicu karena berat badan putranya, Farhan yang diharuskan naik. Hanya saja setelah OGT (oral gastric tube) Farhan dilepas, si kecil malah tak mau menyusu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Usia 3 bulan, Farhan akhirnya mulai bisa lancar menyusu. Kendati begitu, Rita diberitahu bahwa anak berkebutuhan khusus, termasuk CdLS, hanya dapat menyerap nutrisi sebanyak 50 persen. Tubuh mereka yang kecil juga mempersulit proses tersebut.
Untungnya Farhan jarang sekali jatuh sakit, paling-paling hanya batuk dan pilek biasa yang sifatnya musiman. Tapi di usia 9 bulan, Farhan pernah diare, disusul batuk pilek.
"Berat badannya jadi turun 5 ons. Saya sedih, ini naikinnya susah banget, giliran turun langsung banyak. Trus sejak saat itu jadi susah naik. Tapi karena badannya emang kecil jadi ya nggak parno-parno amat," paparnya lagi.
Baca juga: Anak Dipuji karena Alisnya Tebal, Padahal Gejala Sindrom Langka
Lantas bagaimana dengan Tusi? Rupanya perempuan asal Sleman ini juga merasakan apa yang dialami Rita. Saat menyusui, Vivi tak dapat mengisap ASI ibunya dengan kuat. "Dulu juga diperah kemudian disendoki. Dia kan banyak tidurnya juga, jadi ya pas itu diteteskan sedikit-sedikit ke mulutnya," timpal Tusi.
Kebetulan adik Tusi adalah seorang bidan. Meskipun tidak memahami betul kondisi anak dengan CdLS, sang adik kemudian menyarankan agar Vivi mulai diajari makan dengan sendok di usia 5,5 bulan. Namun bahan makanannya dihaluskan dengan cara diblender, bisa nasi, biskuit, ataupun makanan instan.
"Kalau pas kedinginan gitu kadang diare, apalagi CdLS emang riskan. Vivi memang ada gangguan pencernaan dan langit-langit mulutnya juga cekung. Untungnya masih nyambung sehingga kadang keselek atau muntah saat makan," ujarnya.
Hal ini diamini Rita. Di usia Farhan yang menginjak 18 bulan ini Rita juga mengungkapkan Farhan masih susah makan, tetapi lebih karena nafsu makannya yang memang tidak sebesar anak-anak yang tidak mengalami CdLS.
"Kebanyakan anak CdLS memang respons menelan dan menghisapnya kurang. Farhan juga cenderung pilih-pilih, tapi sekarang lagi seneng sayur bobor. Maunya makan sendiri, tapi ya tercecer kemana-mana," jelasnya.
Vivi akhirnya baru bisa makanan padat di usia 2 tahun. Beruntung setelah itu, nafsu makan Vivi sudah lebih baik. Sekarang dalam sehari Vivi bisa makan hingga 3 kali, walaupun porsinya sedikit-sedikit.
"Ini belum ngemilnya, apa aja kayak (keripik, red) slondok gitu, diemut dulu. Kalau nggak makan nasi, ya buah. Jeruk gitu sekali makan bisa sampe 2, atau mangga manalagi kecil-kecil sampe 3, agar-agar juga," urai Tusi.
Satu hal yang tidak digemari Vivi, yaitu susu. Vivi dan keluarganya pernah merasakan pahitnya menjadi pengungsi saat Gunung Merapi mengalami erupsi beberapa waktu lalu. Karena harus berpindah dari satu rumah ke rumah yang lain, susu yang diberikan kepada Vivi juga berganti-ganti. Sejak saat itu, Vivi menolak bila diberi susu lagi.
"Sekarang apa aja mau, teh, air putih, kopi kadang nyicipi juga tapi ndak dibolehin sama ayahnya," katanya.
Baca juga: Perjuangan Rita dan Tusi Membesarkan Anak-anak dengan Sindrom Langka
Dikutip dari situs Cornelia de Lange Syndrome Foundation, Inc, diperkirakan 85 persen anak dengan CdLS mengalami gastroesophageal reflux disease (GERD) atau gangguan cerna sejenis selama hidupnya. Karena kondisi tersebut, mereka cenderung merasa tak nyaman saat harus makan, dan pada kasus-kasus tertentu, hal ini dapat memicu masalah perilaku pada anak dengan CdLS.
(lll/up)











































