Bahkan jauh sebelum ia bertemu dan bergabung dengan komunitas Indonesia Cornelia de Lange Syndrome di Facebook. "(Di grup Facebook, red) saya aktif sejak tiga tahun lalu, kira-kira tahun 2013 awal. Waktu itu anggotanya baru tujuh orang," tandas Koko kepada detikHealth, seperti ditulis Rabu (23/9/2015).
Koko mengalami sendiri bagaimana perjuangan menjadi orang tua anak dengan CdLS. Anak sulungnya, Muhammad Habib Atthariq atau lebih akrab disapa Oyik juga terlahir dalam keadaan CdLS. Padahal selama mengandung Oyik, istri Koko tak mengalami kendala berarti. Hasil USG Oyik juga menunjukkan bahwa janinnya baik dan normal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari detik itulah, hidup Oyik berubah. Mulai dari diinkubasi, hingga harus dipasangi sonde (selang karet kecil yang dimasukkan dari hidung sampai lambung) untuk makan. Meski akhirnya diperbolehkan pulang, Oyik masih sering bolak-balik ke rumah sakit karena kerap mengalami dehidrasi maupun komplikasi lain.
Di usia lima bulan, Oyik memang tak lagi menggunakan sonde, dan sudah mau minum dengan menggunakan sendok dan pipet. Namun ada kelainan lain yang butuh perhatian serius.
Pihak Rumah Sakit Bersalin 'Bahagia' Semarang, tempat di mana Oyik dilahirkan, mendiagnosis Oyik dengan kelainan yang disebut Brahman de Lange Syndrome, seperti tertulis di riwayat kelahirannya. Ciri khas kondisi ini rupanya sangat mirip dengan kelainan anak Cornelia de Lange Syndrome.
"Bahkan ada teman yang telah lama mempelajari kelainan ini dan menyebut Oyik adalah CdLS yang sempurna," tulis Koko lagi.
Kelainan tersebut di antaranya:
1. Jemari tangan kanan yang hanya mempunyai satu jari, yakni jari telunjuk
2. Jemari tangan kiri hanya memiliki dua jari berbentuk jempol dan telunjuk, sedangkan kedua tangan tersebut berbentuk seperti huruf V ke atas, serta ada daging yang mengikat pada lengannya
3. Pertumbuhan yang lamban, baik berat maupun tinggi badan
4. Oyik seperti lahir prematur karena berat lahirnya hanya 1,9 kg. Akibatnya hampir seluruh bagian tubuh Oyik juga berukuran kecil
5. Kaki kanan dan kiri yang berbeda. Kaki kanan lebih panjang dan telapak kaki yan tidak bisa menapak dengan sempurna
6. Ukuran kepala kecil (mikrosefalus)
7. Bulu mata panjang dan lentik
8. Alis Oyik menyambung menjadi satu
9. Rambut Oyik lebat dan berbulu hampir di sekujur tubuh
10. Hidungnya pendek, menengadah dan bibirnya tipis
11. Giginya kecil-kecil dan berspasi
12. Bentuk telinga rendah dan kecil
13. Gastroesophageal reflux atau sering muntah lewat hidung maupun cegukan
14. Ada kelainan jantung bawaan berupa detak jantung yang cepat, serta kelainan pada paru-paru berupa flek
15. Langit-langit mulut tinggi, fungsi mulut tidak maksimal sehingga sulit makan dan minum, terutama saat bayi. Suara tangisnya pun lirih. Sampai saat ini masih belum bisa berbicara dengan lancar
16. Terdapat benjolan-benjolan otot pada daerah dada dan punggung
Baca juga: Aktif di Internet, Rita Bisa Ketemu Sesama Ortu Anak dengan CdLS
Koko yang sama sekali buta tentang CdLS pun jadi getol mencari tahu tentang kondisi ini. Bersamaan dengan itu, ia mempelopori berdirinya Solo Difable Care Community, tak lain untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan keberadaan mereka yang terlahir dengan CdLS.
Ayah dua anak ini juga aktif menyuarakan kampanye tentang anak-anak berkebutuhan khusus serta komunitas difabel lainnya, terutama di tempat tinggalnya, Solo. "Kemudian teman-teman di luar kota, terutama di Jakarta, tertarik untuk mengembangkannya. Oleh mereka ini dibesarkan menjadi Indonesia Difable Care Community, tempat di mana bertemunya difabel dengan orang-orang yang peduli terhadap mereka," ungkapnya.
Koko juga tak jemu-jemu mengingatkan, terutama kepada orang tua anak dengan CdLS, bahwasanya CdLS bukanlah suatu penyakit yang disebabkan virus maupun bakteri. "CdLS adalah mutasi genetik spontan yang tidak dapat dicegah, jadi tak perlu berkecil hati," imbuhnya.
Baca juga: Kisah Rita, Ibu Muda di Bantul yang Merawat Anak dengan Sindrom Langka
Sebagai bagian dari kampanye, tahun ini Koko juga menulis dan meluncurkan buku bertajuk Anakku CdLS, yang sebenarnya disarikan dari pengalamannya sendiri sejak menanti kelahiran Oyik hingga membesarkannya.
Kepada detikHealth, pria berumur 43 tahun itu kemudian memaparkan tiga target utama yang ingin dicapainya lewat IDCC maupun Indonesia CdLS Family. "Pertama, anak dengan CdLS mendapat pengakuan dari pemerintah. Kedua, anak dengan CdLS mendapat jaminan sosial dari pemerintah, dan ketiga, agar ada edukasi terhadap masyarakat tentang CdLS," tegasnya.
"Tapi saya belum puas karena CdLS belum diakui oleh pemerintah. Seperti autisme, pemerintah sudah mendirikan autism center di beberapa kota tapi CdLS belum," urainya.
Koko bahkan berkirim surat dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial hingga Presiden RI untuk memperkenalkan CdLS. "Sejauh ini yang baru menanggapi dari Kemenkes, mereka meminta data-data member Indonesia CdLS Family dan ada niat baik untuk mengkaji tentang kami," paparnya.
Semoga perjuangan Koko dan rekan-rekannya tak sia-sia. Tetap semangat! (lll/up)











































