Eko Saputro selaku Kasubdit Penyehatan Air dan Sanitasi Dasar Dirjen P2PL Kemenkes menyebutkan sudah seyogianya tiap rumah memiliki septic tank. Namun, beda kondisinya pada warga yang tempat tinggalnya di tepi sungai, atau bahkan di rumah yang bukan miliknya, tapi tak memiliki septic tank.
"Saluran pembuangan yang baik itu kan septic tank, atau seperti WC yang kedap udara dan disedot tiap 3 sampai 5 tahun sekali. Ketika rumah tidak ada septic tank, lalu limbah termasuk tinja malah dibuang ke kali, sama saja seperti BAB sembarangan," terang Eko ditemui di Kantor Kemenkes, Jl.HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, seperti ditulis Jumat (16/10/2015).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Eko ada banyak faktor jika sebuah rumah atau hunian belum memiliki septic tank. Bisa karena kendala ekonom atau ketersediaan lahan. Khusus di DKI, kondisi seperti itu banyak terjadi di daerah dengan penduduk musiman atau rumah kontrak misalnya berbentuk bedeng.
"Mereka yang tinggal di sana ibaratnya kan kerjanya bisa tidak tetap, jadi mungkin tidak terlalu mementingkan septitank. Nah, di sini perlu penyadaran untuk si yang punya kontrakan misalnya," lanjut Eko.
Ia menekankan, perlu diingat bahwa tinja itu sampah yang mengandung banyak bakteri, kuman, dan virus, terutama E coli. Saat mencemari lingkungan, pastinya bisa menimbulkan bahaya kesehatan. Seperti diketahui E.coli menjadi salah satu penyebab diare. Menurut data Unicef tahun 2013, kurang lebih 152.000 balita meninggal setiap tahun di Indonesia akibat diare.
"Maka perlu penanaman pemahaman yang lebih baik lagi terkait pentingnya saluran pembuangan air limbah yang baik. Termasuk juga penerapan pola hidup bersih dan sehat, salah satunya dengan cuci tangan pakai sabun," tutur Eko.
Baca juga: 4 Mitos dan Fakta Soal BAB Ini Mungkin Belum Pernah Anda Baca (rdn/up)











































