Dikatakan sang istri, Caroline, tiap malam John sering lupa dengan apa pekerjaan yang harus dilakukannya esok hari. Lambat laun, ayah dua anak itu juga mulai depresi, mengalami perubahan emosi, serta dua kerusakan saraf. Tepat di usia 52 tahun, John didiagnosis demensia tahap awal.
"Saat itu dia pernah mencoba bunuh diri. Kondisinya memburuk dan kami sempat membawanya ke rumah perawatan. Hingga saat ini, John tidak mampu bergerak, bicara, dan makan sendiri," kisah Caroline, dikutip dari Mirror pada Rabu (28/10/2015).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keluarga mengatakan tim dokter percaya demensia awal yang dialami John dipengaruhi gegar otak berkelanjutan yang terjadi selama 20 tahun John bermain rugby. Diduga kuat, gegar otak tersebut masih dialami John meski ia sudah berhenti bermain rugby dan kemungkinan besar telah menyebabkan Chronic Traumatic Encephalopathy (CTE), kondisi yang juga sering terjadi pada petinju.
Kini, karena NHS sudah tidak mengcover biaya pengobatan John, keluarga memutuskan untuk menjual flat mereka dengan harga Rp 1,8 M. Diharapkan, uang itu bisa menutupi biaya pengobatan John. Berangkat dari apa yang dialami suaminya, Caroline memperingatkan para atlet rugby untuk memeriksa cedera yang pernah mereka alami, terutama di area kepala.
"Ini bukan cedera kepala biasa. Ketika Anda melakukan scrum yaitu salah satu gerakan dalam rugby, otak Anda bisa bergerak di dalam tengkorak dan itu dapat mengakibatkan cedera. Maka dari itu, berhati-hatilah dan selalu cek kondisi Anda," pesan Caroline.
CTE bisa menyebabkan seseorang kehilangan memori, menjadi agresif, mengalami kebingungan, depresi, serta perasaan hati yang buruk, kurang mampu mengontrol impuls, dan puncaknya mengalami demensia progresif.
Baca juga: Terlalu Bergantung pada Teknologi, Remaja Bisa Kena 'Demensia Digital'
(rdn/up)











































