Iklan kampanye kesehatan masyarakat yang menjelek-jelekkan perokok ternyata tak bermanfaat. Bukannya membuat perokok ingin berhenti, mereka malah merasa terstigma dan makin sulit untuk berhenti merokok.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Sara Evans-Lacko, peneliti dari London School of Economics and Political Science menyebut bahwa iklan yang menjelek-jelekkan perokok membuat para perokok merasa marah, defensif dan akhirnya malah tak ingin berhenti merokok. Hal ini diakibatkan oleh rasa stres yang mereka alami dan memicu perilaku merokok.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Banyak perokok yang mengakui mereka merasa terpinggirkan, menyedihkan, penjahat dan lainnya. Hal ini membuat mereka stres dan akhirnya merokok untuk menghilangkan perasaan stres semu tersebut," tutur Sara, dikutip dari jurnal Social Science and Medicine, Selasa (3/11/2015).
Penelitian Sara menyebut bahwa 30-40 persen perokok tak diterima oleh masyarakat, 27 persen merasa didiskriminasi dan 39 persen merasa selalu direndahkan orang. Perasaan-perasaan seperti ini dapat meningkatkan kadar stres yang akhirnya membuat perokok tak bisa lepas dari merokok.
Rebecca Evans-Polce, peneliti lain yang terlibat dalam studi ini mengatakan ada baiknya iklan kampanye pengendalian tembakau diubah konsepnya. Bukan menjelek-jelekkan perokok, namun lebih menonjolkan manfaat apa yang bisa perokok terima jika ia berhenti merokok.
"Daripada menjelek-jelekkan perokok yang malah membuat mereka stres, lebih baik menjual apa yang bisa mereka dapatkan jika berhenti. Misalnya jika berhenti, pengeluaran mereka akan berkurang dan uangnya bisa digunakan untuk liburan. Bisa juga dengan memperlihatkan bahwa berhenti merokok membuat seseorang lebih aktif dan bahagia," paparnya.
Baca juga: IAKMI: Perokok Itu Korban, Jangan Dimusuhi
(mrs/up)











































