Secara spesifik, dr Andreas Prasadja, RPSGT dari RS Mitra Kemayoran menyebut narkolepsi lebih banyak dialami perempuan.
"Katakan dari 10 orang, dua di antaranya adalah laki-laki, sisanya perempuan," tandasnya kepada detikHealth dan ditulis Rabu (18/11/2015).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalaupun bakat, bisa saja tidak mengalami, tinggal apes atau ndaknya," imbuhnya.
Baca juga: Perhatikan, Narkolepsi Hanya Bisa Ketahuan dari Gejala-gejala Ini
Tetapi untuk memastikan apakah seseorang berisiko terkena narkolepsi atau tidak, ini bisa dicek dari tiga gejala narkolepsi yang terlihat pada mereka.
"Kalau memang dia mengalami ngantuk yang berlebihan, apakah ada katapleksi, atau apakah tiap kali dia tertidur akan mengalami sleep paralysis atau tidak, itu bisa jadi penentu risikonya," papar dr Roslan.
Jika itu dirasa belum memuaskan, dr Andreas menyarankan agar pasien melakukan pengecekan di laboratorium tidur. Dikutip dari situs WebMD, terdapat dua jenis tes yang umumnya digunakan di laboratorium tidur untuk memastikan diagnosis narkolepsi.
Tes yang dimaksud adalah polysomnogram (PSG) dan multiple sleep latency test (MSLT). Meski hanya dilaksanakan dalam semalam, PSG dapat digunakan untuk memantau tidaknya abnormalitas pada pola tidur seseorang.
Sedangkan MSLT digelar di pagi atau siang hari untuk mengukur tendensi seseorang ketika tertidur, serta menentukan apakah terdapat elemen-elemen di dalam tahapan tidur dalam (REM/Rapid Eye Movement) yang muncul di saat seseorang sedang dalam keadaan terjaga.
Baca juga: Mana yang Paling Sering Sebabkan Narkolepsi: Genetik atau Lingkungan?
Dalam kesempatan yang sama, dr Andreas juga menambahkan, gejala narkolepsi rata-rata baru muncul saat pasien memasuki usia remaja, yaitu berkisar 15 tahun.
Namun kondisi ini dipastikan berlangsung seumur hidup. Termasuk bila si pasien diharuskan mengonsumsi obat untuk mengendalikan gejalanya, maka ini juga kemungkinan akan dilakukan untuk seumur hidupnya.
(lll/vit)











































