Prof dr Faisal Yunus, SpP(K) dari Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Paru Persahabatan mengatakan data Riskesdas tidak menunjukkan kondisi sebenarnya terkait pengidap PPOK. Hal ini terjadi karena riset hanya melalui kuesioner gejala yang dirasakan.
"Kalau gejala kan ada yang merasa ada yang tidak. Jadi 3,7 persen itu tidak tepat. Selain gejala, harus juga dilakukan pemeriksaan spirometri dan foto toraks untuk mengetahui seseorang mengidap PPOK atau tidak," tutur Prof Faisal, dalam temu media Hari PPOK Sedunia di RS Persahabatan, Rawamangun, Jakarta Timur, Rabu (18/11/2015).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Studi dilakukan pada tahun 2011 dengan melakukan pemeriksaan spirometri, foto toraks dan kuesioner respirasi. Hasil studi menyebut prevalensi pengidap PPOK mencapai 7,8 persen.
Studi kedua merupakan studi biomass kerjasama Indonesia dengan Vietnam. Studi yang dilaksanakan pada tahun 2013 ini dilakukan pada penduduk berusia di atas 40 tahun yang tidak merokok di Provinsi Banten, Jawa Barat dan DKI Jakarta.
Hasilnya, ditemukan prevalensi pengidap PPOK mencapai 6,3 persen. Jika ditotal, angka prevalensi pengidap PPOK diperkirakan mencapai 14,1 persen.
"Ini membuktikan bahwa pengidap PPOK di Indonesia cukup tinggi, prevalensinya sekitar 14 persen. Masalahnya banyak masyarakat yang tidak tahu kalau mereka mengidap PPOK," ungkap Prof Faisal lagi.
PPOK merupakan penyakit yang menyerang saluran pernapasan. Penyakit ini membuat saluran napas menyempit sehingga pengidapnya seringkali sulit bernapas atau mudah merasa ngos-ngosan. (mrs/vit)











































