Namun proses untuk membuat antibiotik baru tak semudah yang banyak orang bayangkan. Menurut Kepala Laboratorium Bioteknologi Farmasi, Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, Profesor Dr Amarila Malik, MSi, Apt, setidaknya butuh waktu sekitar 10 tahun menyediakan antibiotik jenis baru untuk masyarakat.
Oleh sebab itu dalam rangka menghadapi kondisi saat ini yang disebut World Health Organization (WHO) darurat, Prof Amarila beserta peneliti lainnya fokus membuat resep antibiotik alternatif. Artinya dengan menggunakan antibiotik yang sudah diketahui, susunan obat direkayasa sehingga bisa digunakan untuk pasien.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi kalau memberikan antibiotik kita tambahkan dengan suatu (zat -red) komplemen yang susunannya mirip dengan antibiotik sehingga nanti si mikrobanya mengira yang ini yang harus dimatikan. Dia akan sibuk mematikan komplemen, antibiotiknya bisa bekerja," kata Prof Amarila pada acara seminar media di kantor MERCK, Jalan TB Simatupang, Jakarta Timur, seperti ditulis Rabu (9/12/2015).
"Contohnya amoxicillin dengan asam klavulanat. Struktur asam klavulanat itu mirip dengan kelompok amoxicillin jadi si enzim bakterinya merusak yang ini sementara antibiotiknya lolos," lanjut Prof Amarila.
Zat komplemen yang ditambahkan tersebut tak memiliki sifat aktif sehingga aman untuk dikonsumsi pasien. Fungsinya benar-benar sebagai pengecoh bakteri dan tak mengganggu efektivitas antibiotik.
"Saya developnya komplemen antibiotik aja bukan antibiotiknya karena investasinya (antibiotik -red) besar kan. Sambil menunggu investasi yang puluhan tahun itu, komplemen-komplemen ini cukup membantu," tutup Prof Amarila.
Baca juga: Seram! Begini Kondisi Dunia Bila Semua Bakteri Kebal Obat (fds/up)











































