November: Pekan Peduli Antibiotik Mulai Digalakkan WHO

Kaleidoskop 2015

November: Pekan Peduli Antibiotik Mulai Digalakkan WHO

Rahma Lillahi Sativa - detikHealth
Senin, 04 Jan 2016 16:45 WIB
November: Pekan Peduli Antibiotik Mulai Digalakkan WHO
Foto: Getty Images
Jakarta - Resistensi antibiotik, suatu kondisi di mana tubuh mulai kebal terhadap efek obat setelah sekian lama mengonsumsi antibiotik secara berlebihan atau ceroboh mungkin bukan lagi kekhawatiran semata.

Perlahan tetapi pasti, fenomena ini mulai terbukti. Namun baru pada November lalu, Badan Kesehatan Dunia untuk pertama kalinya mengadakan Pekan Peduli Antibiotik Sedunia, yang digelar pada 16-22 November 2015.

Dalam peluncuran gerakan tersebut di Indonesia, dr Dewi Indriani selaku Penanggung Jawab Resistensi Antimikroba WHO Indonesia mengatakan Pekan Peduli Antibiotik bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya resistensi antibiotik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kita ingin galakkan gunakanlah antibiotik dengan bijak. Antibiotik barang berharga maka penggunaannya harus 'disayang-sayang' karena nanti kita bisa nggak punya lagi antibiotik ketika kita membutuhkannya," tutur dr Dewi.


Data WHO menunjukkan, 50 persen resep antibiotik yang diberikan kepada pasien tidak sesuai pedoman. Sebaliknya, tercatat hanya 40 persen layanan kesehatan milik pemerintah yang memberi antibiotik sesuai pedoman, sedangkan layanan kesehatan swasta yang memberi antibiotik sesuai pedoman hanya 30 persen.

Ditambah lagi berdasarkan hasil laporan WHO di tahun 2014 terkait gambaran resistensi antibiotik menunjukkan, masih sedikit negara yang memiliki rencana komprehensif untuk mengendalikan penggunaan antibiotik. Bahkan lebih banyak lagi negara yang belum mempunyai standar pengobatan dengan antibiotik.

Baca juga: WHO: Karena Resistensi Antibiotik, Tiap Lima Menit Ada Satu Anak yang Mati

Dijelaskan dr Anis Kurniawati, PhD, SpMK(K) selaku sekretaris Komite Pengendalian Resistensi Antibiotik (KPRA) Kemenkes, antibiotik adalah satu-satunya obat yang diberikan pada pasien yang tidak ditujukan pada sel manusia.

"Antibiotik ini ditujukan untuk bakterinya. Maka prinsipnya adalah antibiotik harus sampai di targetnya yang belum tentu ada di darah," urai dr Anis.

Untuk itu pemberian obat dengan dosis minum satu, dua, atau tiga kali sehari sudah berdasarkan penelitian untuk memastikan obat sampai ke target dan berada di atas konsentrasi hambat minimal secara terus-menerus. Dengan begitu, obat bisa masuk ke sel dan menembus sel.

"Sel bakteri punya dinding. Ada antibiotik yang kerjanya di dinding tapi ada ada juga antibiotik yang kerjanya di dalam selnya, di kromosom. Jadi kita harus memastikan antibiotik ini masuk dan mencapai target," lanjut dr Anis.

Sebaliknya, ketika seseorang diresepkan antibiotik tapi dia tidak melanjutkan konsumsi karena dirasa tubuhnya sudah membaik, hal itu justru bisa membuat bakteri penyebab penyakit tetap berkembang biak, bahkan resisten alias kebal pada antibiotik.


Baca juga: 4 Hal dalam Keseharian yang Bisa Bikin Seseorang Resisten pada Antibiotik

"Kalau tidak cepat bertindak akan mencapai era post-antibotic di mana sudah tidak ada lagi infeksi bakteri yang bisa diobati dengan antibotik, yang ringan sekalipun. Hal ini berpengaruh pada bertambahnya biaya kesehatan, angka kesakitan, dan kematian. Dalam beberapa dekade terakhir pun belum ditemukan antibiotik baru," kata dr Dewi.

Di tingkat dunia, level resistensi antibiotik dikatakan sudah berada tahap berbahaya. Sejumlah penyakit infeksi pun dikabarkan mulai resisten terhadap pengobatannya, di antaranya pneumonia, gonorrhea dan tuberkulosis.

Berdasarkan hasil penelitian, di samping konsumsi antibiotik yang tidak bijak, aspek lain yang ditengarai memicu munculnya resistensi di antaranya konsumsi hewan budidaya yang telah diberi antibiotik agar tumbuh lebih cepat dan tak mudah sakit serta penjualan obat secara online yang tidak teregulasi. (lll/up)

Berita Terkait