"Beda tipis antara optimisme dengan positivisme," kata Liza Marielly Djaprie, psikolog dari Sanatorium Dharmawangsa, Jakarta Selatan, dalam pebincangan dengan detikHealth, Jumat (15/1/2016).
"Optimisme mengakui ada masalah, dan ada kesadaran untuk bangkit mengatasinya. Sedangkan positivisme, memandang suatu masalah hanya dari sisi positif lalu lupa masalah sebenarnya. Dianggap nggak apa-apa, kemudian tahu-tahu bangkrut," lanjut Liza.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam konteks serangan teror di seputaran pusat perbelanjaan Sarinah Kamis kemarin, Liza menilai lelucon-lelucon yang bermunculan sebagai bentuk kecerdasan emosional. Di balik sebuah tragedi, masyarakat bisa melihat sisi lain dan mengemasnya sebagai humor.
Satu sisi, sikap seperti ini sangat baik untuk membangkitkan semangat kebersamaan dalam melawan aksi terorisme. Tanda pagar #KamiTidakTakut membawa pesan kuat bahwa tujuan para teroris menyebar ketakutan tidak tercapai.
Namun jika berlebihan, dikhawatirkan ancaman yang sesungguhnya justru terlupakan. Memandang aksi teror hanya sebagai lucu-lucuan, di sisi lain juga bisa dipandang sebagai pudarnya rasa empati terhadap para korban yang mengalami dampak langsung maupun tidak langsung.
Baca juga: Teror Bom, Lelucon Polisi Ganteng dan Ancaman Pudarnya Empati (up/vit)











































